KAPAN BISA KAYA?
ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Pagi-pagi cari sarapan di kota Solo, saya memilih masuk ke sebuah warung yang di papan namanya tertulis Soto Bening, lokasinya dekat mess AU di seputaran bandar Adi Sutjipto. Tempatnya sederhana tapi asyik dengan keunikan ada angkringan soto ditengah tengahnya.
Saya makan 1 mangkuk soto, dan mengambil lauk 1 sate ayam, 1 tempe bacem, 1 plastik peyek kacang, dan minumnya teh panas. Rasanya enak, seger, meski tak cukup mengenyangkan. Usai makan saya tanya ke penjualnya berapa saya mesti membayar, dimana tangan kanan saya sudah memegang uang 20 ribuan.
Kaget banget saya saat penjual cuma menyebut angka Rp 4.500,- yang harus saya bayar. Saya tanya ulang; "Ibu tak salah hitung?" Ibunya mengaku hitungannya benar. "Memang semangkuk soto berapa harganya, bu?" tanya saya penasaran. Dia jawab; "Semangkuk Rp 1.500,-"
"Waduh, kapan ibu bisa kaya jika jualan soto enak dengan harga semurah ini?" kata saya sambil membayar dan tertawa-tawa. Dalam hati saya sebenarnya mengira harga yang harus saya bayar untuk semua yang sudah saya makan itu kisaran 10 ribuan. Bahkan 11 atau 12 ribu saya anggap masih wajar. Tapi kalau cuma Rp 4.500,- saya anggap itu kemurahan. Seandainya saya domisili di Solo, pasti warung itu jadi langganan. Karena saya merasa senang bisa menikmati makanan enak dengan harga yang murah.
* * *
Sobat properti, dalam ilmu marketing kita mengenal istilah perceived value, yang bisa didefinisikan sebagai harga yang bersedia dibayar oleh konsumen untuk sebuah manfaat yang diperolehnya.
Dalam contoh kasus soto bening diatas, perceived value adalah di angka Rp 10.000,-. Artinya jika saya diminta membayar harga itu, saya dengan sukarela membayarnya dan menganggap itu harga wajar.
Tapi kalau saya ditagih Rp 15.000,- untuk semua yang telah saya makan, saya pasti merasa harganya kemahalan dan ada rasa tidak rela saat membayarnya. Berarti itu bukan perceived value. Karena konsumen merasa manfaat yang diperoleh tak sebesar harga yang harus dibayar.
Nah, kalau Rp 4.500,- yang telah saya bayar ini juga bukan perceived value. Karena sebagai konsumen saya merasa harga yang saya bayar terlalu murah untuk semua manfaat yang saya nikmati. Saya rela membayar diatas jumlah itu, setidaknya sampai menyentuh angka Rp 10.000,- yang saya asumsikan sebagai perceived value.
Sobat properti, jika dalam pricing strategi yang anda aplikasikan di proyek properti yang anda pasarkan bisa muncul harga jual di pricelist yang masuk kategori 'perceived value', besar kemungkinan produk anda akan kompetitif di pasaran, dan mampu bersaing dengan kompetitor lainnya. Tentunya jika dikomparasi untuk produk yang sejenis dan lokasi tak jauh beda.
Lazimnya di bisnis properti, profit marginnya adalah 20% dari harga sebelum pajak. Jika anda ingin menciptakan competitive advantage terhadap kompetitor dengan memakai strategi Cost Leadership, bisa anda lakukan dengan menekan profit margin hanya di kisaran 5 - 10% saja. Tak perlu memasang profit margin sampai 20%. Tentunya dengan asumsi harga perolehan lahan, biaya pematangan lahan, dan overhead cost di proyek anda adalah normal, bukan overbudget.
Bahkan saya pernah menerapkan strategi Cost Leadership sampai dengan 50% luasan lahan efektif terjual, karena saya punya target cepat-cepat mengembalikan modal para pemegang saham. Berdasar pengalaman saya, jika modal pemegang saham sudah cepat kembali, maka ketika pencapaian laba sedikit dibawah targetpun mereka tetap happy.
Tapi khusus buat sobat properti, strategi memasang profit margin hanya 5-10% saja hanya saya sarankan untuk maksimal 20% saja dari total luasan lahan efektif atau dari jumlah unit anda. Stretegi Cost Leadership cocok diterapkan untuk proyek properti yang baru saja launching, dan progres fisik di lapangan belum cukup besar untuk dipamerkan secara visual ke konsumen. Jadi daya tariknya diletakkan di harga jual yang murah. Tentunya dibawah 'perceived value'.
Menerapkan strategi Cost Leadership yang identik dengan memasang harga jual dibawah perceived value tak harus membuat penjual menjadi rugi. Paling banter adalah keuntungannya menjadi tipis alias mepet. Seperti ibu penjual soto bening di Solo, buktinya dia tetap eksis. Kalau jual rugi mestinya warung sotonya sudah bangkrut dan tutup. Tapi kalau bertahan terus dengan harga yang kemurahan seperti itu, pertanyaan yang timbul seperti yang pernah saya tanyakan; "Kapan bisa kaya?" Hahaha ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.