ADA HARGA ADA RUPA
"Jika muka anda berantakan, cukur rambut cukup seratus ribuan. Jangan berlebihan, tak bisa mengubah keadaan ..."
Sembari menunggu jadwal ke notaris di Karawang jam 13.00, saya mengisi waktu dengan masuk ke mall Kelapa Gading Jakarta yang bersebelahan persis dengan hotel tempat saya menginap.
Sembari menunggu jadwal ke notaris di Karawang jam 13.00, saya mengisi waktu dengan masuk ke mall Kelapa Gading Jakarta yang bersebelahan persis dengan hotel tempat saya menginap.
Jam 10 saat mall baru saja buka, saya masuk ke sebuah salon di lantai 2. Langsung saya katakan mau potong rambut. Saya kaget saat disuruh pilih stylish yang mana, karena tarifnya cuma ada pilihan yang 450.000 atau 550.000. Ada embel-embel stylish internasional. Tak ada yang lebih murah dari tarif itu.
Terlanjur malu dan gengsi jika balik badan dan dianggak tak kuat bayar mahal, saya langsung memilih yang bertarif 450.000 saja. Stylish nya muka Indonesia, ngomong bahasa Indonesia, tapi aksen Inggris. Mungkin biar kelihatan level internasionalnya. Sepanjang prosesi potong rambut saya senyum senyum sambil berkata dalam hati bahwa ini tarif potong rambut tertinggi yang pernah saya bayar. Tips nya tak mungkin Rp 10.000, setidaknya Rp 50.000. Total setengah juta. Kelas internasional bro, hahaha ...
Hasilnya? Apa saya mendadak bisa jadi pria seganteng Raffi Ahmad? Tidak juga. Muka pas-pasan mau diolah rambutnya oleh stylish internasional manapun, tetap saja outputnya berantakan. Gak sinkron mukanya dan rambutnya. Muka pas-pasan seperti saya mungkin pantasnya potong rambut seratus ribuan, tak perlu kelas setengah jutaan.
Sobat properti, di bisnis properti ada istilah ADA HARGA ADA RUPA. Ada batas maksimal dalam proses up grade value (peningkatan nilai) yang kita lakukan atas sebuah lahan. Jika kita beli lahan dipinggir kota dengan harga Rp 100.000/m2, mana bisa dikembangkan jadi perumahan mewah seharga 1 milyar, meski mungkin kita membangun infrastruktur kelas real eatate papan atas.
Sebaliknya, jika kita membeli lahan harga Rp 3 juta/m2 di pusat kota, meski hanya dibuatkan jalan dan saluran, tetap saja produk properti kita bisa dijual mahal. Kenapa? Karena lokasinya sangat strategis dan mudah diakses.
(Note : jangan diasumsikan dengan pengembang skala kota mandiri yang luasan lahannya ratusan hektar).
Saya pernah nekat memberi fasilitas club house dan kolam renang di sebuah proyek perumahan ditepi kota dengan harapan harganya bisa didongkrak naik. Eh, justru dagangan tidak laku. Akhirnya saya kembali lagi ke harga lama, sementara 4 kavling sudah dikorbankan untuk membuat kolam renang dan memakan budget 600 jutaan. Sudah pasti menggerus laba, sakit rasanya.
Pernah juga ada perumahan murah ditengah kebun tebu saya upgrade value nya dengan dibuat waterpark. Saya pikir harga jual rumah bisa dikatrol naik. Uhhh, kasusnya sama. Fasilitas yang bagus tetap tak bisa mengangkat penjualan. Lokasinya ditepi kota dan masuk ditengah kebun tebu tak cukup mampu menarik minat konsumen di kota untuk memiliki properti dipinggir kota. Ujungnya kembali ke harga lama, dengan konsekwensi menggerus laba.
Kesimpulannya : Ciptakan kualitas lingkungan sewajarnya, sesuai porsi yang pantas dengan grade tanahnya. Jika tanah masuk kategori tanah murah, berikan infrastruktur standar rumah murah. Jika tanahnya bagus dan harga perolehan mahal, buatlah kualitas infrastruktur yang berkualitas. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sinkron.