PRICING STRATEGY
Bukan rahasia lagi bahwa bagi
para pengguna gadget, urusan baterai adalah sesuatu yang menjengkelkan.
Baterai-baterai yang beredar di pasaran sekarang dan satu paket dengan gadget
yang dijual seringkali tak punya daya tahan yang cukup untuk digunakan. Hanya
bisa bertahan kisaran 6 - 10 jam saat masih baru, dan kisaran 2 - 4 jam jika
baterainya sudah ratusan kali di-charge.
Banyak pengguna gadget yang
berharap pabrikan seperti Samsoeng mengoptimalkan divisi research dan
development-nya guna menemukan teknologi baterai yang durasinya bisa mencapai
24 jam atau bahkan lebih.
Samsoeng menjawab kerinduan
itu bukan dengan merilis teknologi baterai berdurasi panjang, tetapi justru
memberikan kabar istimewa dengan merilis penjualan gadget tanpa baterai.
Hebatnya lagi, semua produknya akan diberlakukan penjualan gadget tanpa baterai
ini.
Misalnya untuk Samsoeng Galaxy
Mega yang biasanya dijual seharga Rp 4.150.000, saat ini dijual seharga Rp
3.800.000 tanpa baterai. Samsoeng Galaxy Core yang semula dijual seharga Rp
2.550.000, saat ini dijual Rp 2.225.000 tanpa baterai. Dengan penjualan tanpa
baterai ini, tentu saja gadget baru yang dibeli belum bisa dipergunakan sebelum
dilengkapi dengan baterai yang dijual terpisah.
Samsoeng menjualnya secara
terpisah, dimana baterai untuk type Mega dijual seharga Rp 350.000 dan baterai
untuk type Core dijual seharga Rp 325.000.
Saya menduga bakal banyak
konsumen yang merasa kecewa dengan kebijakan menjual gadget tanpa baterai ini,
karena hakekatnya adalah sama saja. Malah lebih menguntungkan dijual blended
dalam 1 paket karena tak perlu repot-repot membeli secara terpisah.
Hehehe... itu hanya humor.
Semoga pabrikan Samsung tidak melaporkan saya untuk kasus pencemaran nama baik,
karena yang saya kisahkan diatas adalah Samsoeng, bukan Samsung.
Sobat properti, seseorang
bertanya kepada saya; Mana lebih baik mencantumkan harga jual tanpa PPN di
pricelist supaya terkesan murah, atau langsung menambahkan PPN didalam
pricelist dengan konsekwensi terkesan mahal.
Saya jawab bahwa lebih baik
PPN dicantumkan sekalian, karena konsumen manapun tahu bahwa pembelian properti
memang menjadi obyek PPN. Mau tidak dicantumkan toh nyatanya juga mesti dibayar
oleh konsumen.
Tak perlu kuatir itu akan
terlalu membebani konsumen, karena pihak bank bersedia membiayai 80% x (harga +
PPN). Artinya PPN diblended jadi satu dengan harga. Catatan; 70% untuk type 70
keatas.
Dalam jual beli properti,
konsumen yang akan membeli secara kredit harus membayar 4 hal sebagai berikut;
a. Membayar Uang Muka (20
atau 30% x harga jual)
b. Membayar PPN =10% x harga
jual
c. Membayar BPHTB = 5% x
(harga jual - 60 juta)
d. Biaya KPR (provisi, administrasi,
bea notaris, bea pengikatan, APHT, asuransi jiwa kredit dll)
Banyak konsumen yang tidak
paham dan terjebak dengan item b + c + d seperti rincian diatas. Akibatnya
ketika aplikasi kredit sudah disetujui, terkadang mereka tak mampu menyediakan
alokasi biaya untuk membayar item b + c + d diatas. Mereka pikir, hanya cukup
membayar UM saja.
Jadi saran saya, lakukan PRICING STRATEGY (strategi menetukan harga jual) dengan memasukkan PPN
kedalam harga jual langsung. Itu wajib dilakukan. Bahkan tak jarang saya juga
memasukkan BPHTB kedalam komponen harga, sehingga dalam pricelist yang dirilis keluar,
semua sudah blended jadi satu. Dan nanti saat promosi kita bisa beriklan dengan
selling point "BEBAS BPHTB".
Kalau untuk biaya KPR, sulit
memasukkannya karena terlalu banyak variabel dan tidak fix nilainya. Apalagi
untuk sub item asuransi jiwa kredit, terkadang nilai preminya besar sekali jika
debiturnya sudah berusia tua.
Kesimpulannya, anda bisa
pakai kombinasi (a + b) atau (a + b + c) didalam pricelist. Tapi kalau untuk
kombinasi (a + b + c + d) saya tidak menyarankannya (not recommended).
CONTOH PERHITUNGAN
Harga Jual = Rp 100.000.000
PPN 10% = Rp 10.000.000
Harga Jual + PPN = Rp
110.000.000
Harga Jual = Rp 100.000.000
BPHTB = 5% x (Rp. 100.000.000 - Rp. 60.000.000)
= Rp 2.000.000
PPN 10% = Rp 10.000.000
Harga Jual + PPN + BPHTB = Rp
112.000.000