BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Selasa, 02 Agustus 2016

LAHAN TAK MEMILIKI AKSES JALAN

SAYA KAPOK !! 


"Suhu AW, saya punya hotdeal lahan 9500 m2 di Weleri. Lokasi hanya 300 m dari jalan raya, cuma 5 menit dari pusat keramaian di Weleri. Harga 200rb/m2, DP 160 jt buat nebus di bank, SHM boleh dibalik nama ke PT kita untuk dijadikan perumahan RSH FLPP. Lahan boleh dihutang dan diangsur max 2 thn."

Seseorang (sebut saja mr B) mengaku pembaca berat blog jinproperti tapi belum pernah ikut kelas workshop, menghubungi saya dan menyampaikan opportunity tersebut. Secara umum info yang dia sampaikan sudah memenuhi kriteria hotdeal. 

Kebetulan sore itu saya lega dan punya waktu, jadi langsung saya niatkan diri untuk survei lokasi. Terus terang passion saya saat ini memang mengincar lahan lahan yang bisa dikembangkan jadi proyek RSH FLPP. Kalau untuk kembangkan real estate, saya sedang membatasi karena pasar di segmen itu sedang lesu. Sayapun berangkat ke Weleri.

Lahan tidak jelek, sesuai dengan yang saya bayangkan untuk kriteria RSH FLPP. Tapi ternyata di gambar SHM tersebut tidak nampak akses jalan apapun, meski eksistingnya ada jalan tanah selebar 5-6 m yang dalam bayangan saya tinggal diaspal saja karena dasarnya sudah keras. Setelah saya usut, ternyata jalan itu milik Perhutani, bagian dari hutan ratusan hektar milik Perhutani disitu. 

Saya langsung mengkerut nyalinya untuk eksekusi lahan ini. Meski didalam tas saya sudah disiapkan uang tunai 10 juta untuk tanda jadi. Bahkan mr B sudah saya pesan untuk menghubungi pemilik tanah yang akan langsung saya jumpai usai survei lahan. Tapi saya sudah bernadar untuk tidak mengambil lahan yang akses jalannya secara legal belum ada. Itu bakal jadi penyakit !!

Di Sleman, gara-gara kasus pemakaian jalan bersama yang tidak ada dukungan legalnya, kami harus kehilangan 370 juta guna membereskannya. Saya kapok. 

(Cerita singkatnya begini ; Ada kakak beradik yang punya lahan bersebelahan, bersepakat membuat jalan bersama selebar 5 m. Adiknya merelakan jalan selebar 3 m, kakaknya merelakan jalan selebar 2 m. Semua cuma berdasar kesepakatan lisan, karena kakak beradik saling percaya. Saat lahan milik kakaknya kami beli, aktivitas progres pembangunan dianggap mengganggu adiknya, akibatnya jalan selebar 3 m yang memang ada di tanah milik adiknya dipasang pagar setinggi 2 m. Proyek kami macet 7 bln tak bisa beraktivitas. Urusannya panjang, masing-masing sewa pengacara, melapor polisi dll. Akhirnya bisa damai, tapi 370 juta melayang).

Saya kapok! Kasus itu jadi pelajaran bagi saya. Jika jalan masih milik Perhutani, saya malas mengurusnya, karena birokrasinya mungkin panjang dan berbelit belit. Belum lagi biayanya. Kalau tidak diurus, ijin perumahannya juga tak mungkin terbit karena tak pun. Kenapa saya mesti repot untuk hal hal yang belum pasti.

Lebih baik opportunity di Weleri itu saya tinggalkan, memilih berburu opportunity lainnya yang tidak mengandung resiko dalam hal jalan. Ini soal jalan, soal primer, tak boleh yang statusnya abu-abu. Pastikan ada peruntukan jalan yang terkoneksi dengan lahan yang akan kita kembangkan. 

Ayo hunting lahan lagi ...

JANGAN MENERIMA MODAL YANG DIPEROLEH DARI HASIL MENGAGUNKAN ASETNYA INVESTOR

ISTRI SAYA PENGIN BERTEMU BAPAK
(LHO, ADA APA INI?)


Ada apa nih? Mr X, salah seorang investor di proyek saya pada suatu malam hari diluar jam kerja mengajak saya ketemuan. Yang janggal, katanya istrinya pengin jumpa saya. Saya tidak paham ini ada urusan apa hingga istrinya dilibatkan begini. 

Oh ya, Mr X adalah pihak yang menanam investasi sebesar 400 jt di salah satu proyek saya sejak 14 bulan yang lalu. Dia bergabung bersama 3 investor lain di sebuah proyek dengan kebutuhan modal kerja 1,6 milyar. Proyeknya sempat lambat saat start, tapi untungnya ditengah jalan bisa melakukan akselerasi hingga akhirnya running well. 

Saat bertemu, istri Mr X memohon mohon agar modal yang ditanam suaminya di proyek saya segera dikembalikan. Katanya modal yang ditanam itu diperoleh dari hasil mengagunkan sertipikat rumahnya di sebuah BPR. Sudah jatuh tempo 2 bln yang lalu, dan jika sampai bulan ke 3 tak mampu menebusnya, katanya rumah mereka mau dilelang.

Speechless, saya tak bisa ngomong. Ini sebuah fait accomply yang telak. Kalau tak bisa saya penuhi, saya sungguh berdosa membuat mereka kehilangan rumahnya. Tapi mau dipenuhi, ya darimana duitnya? Proyek yang diestimasi selesai 18 bulan itu mungkin bakal mundur jadi 21 bulan. Pengembalian modal yang semula diestimasi bulan ke 12, mungkin mundur menjadi bulan ke 16 s/d 18. Tentang target laba masih aman sesuai Action Plan.

Yang namanya sebuah proyek, tak ada yang pasti. Apa yang direncanakan di awal sifatnya hanyalah PROYEKSI dan ESTIMASI. Waktunya bisa maju bisa mundur. Labanya, bisa naik bisa turun. Dan yang namanya bisnis, bisa untung bisa juga merugi. Siapa yang tahu? Betul gak bro?

Mr X mengagunkan rumahnya untuk kredit di BPR berdurasi 12 bln. Saat proyek ternyata molor, modal belum bisa kembali, dan rumahnya terancam dilelang. Resiko itu mestinya adalah resiko dia pribadi, bukan resiko saya. Karena sejak awal saya katakan yang namanya bisnis tak ada yang pasti. Molornya pengembalian modal harus bisa dia antisipasi secara internal Mr X, bukan memaksa proyek menyesuaikan kebutuhan pribadinya. 

Andai saya bisa mengembalikan modal Mr X, tentunya 3 pemodal lain juga harus dikembalikan. Tak mungkin cuma dia sendiri yang dikembalikan. 

Saat istrinya meratap dan memohon, saya lihat Mr X cuma diam. Sepertinya dia paham resiko bisnis yang dihadapinya, jadi justru tak berani bicara apapun. Kalau yang maju istri, mungkin ini sudah bukan dalam konteks bisnis lagi, tapi sudah dalam konteks kemanusiaan. Bagaimana menyelamatkan sebuah rumah yang hampir dilelang. 

Dalam hitungan Business Plan yang saya sodorkan dulu, dengan ikut berinvestasi sebesar 400 jt, ada potensi laba sebesar 240 juta dalam durasi 18 bulan, dan modal kembali di bulan ke 12. Mungkin Mr X berhitung bahwa meski ambil kredit di BPR dengan bunga 19%/thn sekalipun, selisihnya masih menggiurkan.  

Ternyata oh ternyata ... realisasi tak sesuai dengan proyeksi dan estimasi. Hingga akhirnya terancam eksekusi.

Saya kemudian bicara dengan pasangan suami istri tersebut, untuk membantu mencarikan pemodal pengganti. Tapi resikonya mungkin mereka harus kehilangan sebagian besar hak nya atas laba proyek yang menjadi bagian mereka (mereka dapat 15% dari potensi laba total 1,6 milyar). Mungkin malah harus kehilangan semua hak nya.

Jawabannya cukup mengagetkan, yaitu bahkan mereka siap kehilangan seluruh hak nya, asal uang 400 jt nya kembali. Mereka ikhlas merugi atas beaya kredit serta bunga bulanan yang telah dibayarkan selama ini. Yang penting rumahnya tidak dilelang bank.

Untunglah saya berhasil mencarikan investor pengganti, meski Mr X kehilangan 12,5% sahamnya dan cuma dapat sisa 2,5%.

Sobat properti, pelajaran apa yang bisa saya petik dari kasus diatas? Saya harus menanyakan asal usul modal yang ditanamkan oleh investor. Harus saya pastikan itu uang dingin yang semula ditaruh di tabungan atau deposito, bukan hasil menggadaikan sertipikat rumahnya. Ini bisnis bung, jangan mikir manisnya saja, bisa-bisa dapat yang pahit lho. 

Ketimbang anda mengalami kejadian seperti diatas, yaitu istri orang meratap dan memohon mohon didepan anda. Rasanya nano nano. Ada geli, kasihan, jengkel, semua bergabung jadi satu. Semoga tak terjadi lagi kepada diriku.

ANDA MESTI TAHU ASAL USUL MODAL YANG DIINVESTASIKAN DI PROYEK ANDA

SEJAK SAYA TAHU BAHWA MIYABI TAK PERAWAN LAGI ...


Sobat properti, pelajaran penting yang ingin saya sampaikan melalui artikel ini adalah bahwa anda harus menanyakan darimana asa usul uang pemodal yang akan berinvestasi membiayai proyek properti anda. 

Pasti anda sungkan, pasti anda merasa tidak sopan. Syukur syukur sudah dimodali koq malah bertanya sesuatu yang sifatnya privacy. Mau duit sendiri, duit mertua, duit pinjaman bank, itu bukan urusan saya. Ntar kalau pemodalnya tersinggung bisa bisa malah tidak jadi membiayai proyek properti kita. Itu yang anda pikirkan? Sama bro! Dulu saya juga berpikir seperti itu. Tapi sejak saya tahu bahwa Miyabi sudah tidak perawan lagi, saya berubah pikiran.

Kenapa? Ini bagian dari manajemen resiko. Karena tak semua proyek anda bakalan sukses. Bisa saja terjadi umur proyek molor, bisa terjadi labanya dibawah target, bahkan bisa terjadi proyeknya tak ada laba akibat gagal dieksekusi. 

Ada sebuah proyek saya di Sleman yang tak bisa berlanjut karena warganya resisten. Warga ramai ramai menolak saat dilakukan sosialisasi warga, akibat ada provokasi dari oknum warga tertentu. Terpaksa proyek harus cut off ditengah jalan dengan nilai kerugian kisaran 350 jutaan yang terlanjur keluar untuk biaya pra proyek.

Investornya tak mau tahu. Dia maunya uang yang sudah ditanamnya sebesar Rp 1 milyar tetap harus ada labanya. Dalam Action Plan saya berikan investor hak sebesar 25% dari potensi laba total (proyeksi laba 2,8 milyar durasi 2 thn). Lha ini kan rugi bos??? Dia malah mendelik tak mau tahu. Saya coba nego dengan hanya mengembalikan sejumlah modal yang disetor saja, dan ruginya menjadi beban saya. Investornya menolak.

Saya jelaskan bahwa yang namanya bisnis pastinya ada potensi laba dan juga ada resiko rugi. Laba yang saya tuliskan di Action Plan itu sifatnya hanya PROYEKSI, bisa naik bisa turun, bisa tercapai bisa tidak tercapai. Umur proyek juga sifatnya ESTIMASI, artinya bisa maju bisa juga mundur. Gak ada bisnis yang sifatnya fix. 

Investornya tetap bersikeras menuntut laba. Bahkan dia mengatakan bakal pakai jalur 'kekerasan' jika tuntutannya tak saya penuhi. Alamaak .. (belakangan saya tahu katanya beliau dulu ex paspampres yang dikaryakan ke jalur sipil). Saya coba desak dan mencari info apa alasannya tak mau tahu bahwa proyek ini rugi akibat force majeure. 

Akhirnya dia mengaku bahwa dari uang 1 milyar yang diinvestasikan di proyek saya, itu separonya milik temannya yang seorang perwira senior di Polda DIY. Temannya itulah yang ngotot bahwa modal yang ditanam harus kembali bersama laba yang dijanjikan di awal. Janji yang mana nih? Tentu saja janji investor saya kepada temannya yang diajak investasi. Bukan janji saya yang meletakkan segala sesuatunya secara bisnis yang bisa untung dan bisa juga rugi. Dia mengundang temannya investasi 500 jt dalam waktu 2 thn dengan laba fix 300 jt. Jika proyek hanya berjalan setahun, minta kembali 500 + 150 = 650 jt. 

Pemodal saya yang konon ex paspampres ini kemudian mengatakan dirinya pribadi bisa memahami gagalnya proyek dan cukup meminta modal kembali 500 jt. Untuk temannya harus balik 650 jt. Kerugian? Uhuk uhuk, harus saya tanggung sendiri. Mereka tak mau tahu. Bahkan saat saya tunjukkan perjanjian hitam putih yang dilegalisasi notaris tentang klausul laba/rugi, jawabnya enteng; "Saya gak baca perjanjian itu." Hmmm ....

Oh ya, investor tersebut saya kenal dari seorang mediator yang atas jasanya mendatangkan investor saya beri fee 25 jt. Gak tahunya begini endingnya. Ini jadi pelajaran mahal buat saya, makanya saya share supaya banyak yang mengambil hikmahnya. 

Pelajaran bahwa kita harus memastikan uang investor adalah ekuitas miliknya sendiri (bukan ngajak teman dan cari selisih) sebenarnya bukan cuma dari 1 kasus diatas, tapi ada beberapa kasus lainnya yang pernah saya alami. Lain kali saya ceritakan dalam artikel tersendiri. Kesimpulannya ; not recommended. Karena investor derivatif tersebut tidak kenal dengan kita dan tidak berinteraksi dengan kita, jadi cenderung kaku dan tanpa kompromi. 

Tuntutan dari investor derivatif kepada investor asli yang kita kenal, akhirnya jadi beban kita juga. Gak asyik deh, cenderung ribet dan berpotensi konflik. Apalagi yang mindset nya semacam rentenir, misal taruh 100 jadi 130 dalam waktu setahun, dengan asumsi semuanya bersifat FIX, mampuslah dirimu.

Saat proyek lancar, investor asli akan menyembunyikan investor derivatif. Tapi saat poyeknya bermasalah, barulah ada pengakuan tentang investor derivatif yang dimunculkan untuk memberikan tekanan kepada kita. 

Saat ini saya sudah bertambah cerdas dengan menambahkan klausul seperti ini ; "Pihak kedua terlebih dahulu menerangkan diri bahwa uang yang diinvestasikan di proyek ini adalah ekuitas miliknya sendiri, bukan titipan investasi dari pihak ketiga. Apabila ternyata melibatkan investasi dari pihak ketiga, maka pihak kedua membebaskan pihak pertama dari segala keterkaitan dan resiko apapun yang mungkin timbul dari pihak ketiga tersebut."

Oh ya, anda penasaran dengan ending dari kasus diatas? Tentu saja unhappy ending. Mana mau saya berhadapan dengan ex paspampres dan perwira polda, bisa konyol saya. Terpaksa saya menanggung semua kerugian tersebut meski harus nangis darah. Uhuk uhuk ..
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis