SAYA KAPOK !!
"Suhu AW, saya punya hotdeal lahan 9500 m2 di Weleri. Lokasi hanya 300 m dari jalan raya, cuma 5 menit dari pusat keramaian di Weleri. Harga 200rb/m2, DP 160 jt buat nebus di bank, SHM boleh dibalik nama ke PT kita untuk dijadikan perumahan RSH FLPP. Lahan boleh dihutang dan diangsur max 2 thn."
Seseorang (sebut saja mr B) mengaku pembaca berat blog jinproperti tapi belum pernah ikut kelas workshop, menghubungi saya dan menyampaikan opportunity tersebut. Secara umum info yang dia sampaikan sudah memenuhi kriteria hotdeal.
Kebetulan sore itu saya lega dan punya waktu, jadi langsung saya niatkan diri untuk survei lokasi. Terus terang passion saya saat ini memang mengincar lahan lahan yang bisa dikembangkan jadi proyek RSH FLPP. Kalau untuk kembangkan real estate, saya sedang membatasi karena pasar di segmen itu sedang lesu. Sayapun berangkat ke Weleri.
Lahan tidak jelek, sesuai dengan yang saya bayangkan untuk kriteria RSH FLPP. Tapi ternyata di gambar SHM tersebut tidak nampak akses jalan apapun, meski eksistingnya ada jalan tanah selebar 5-6 m yang dalam bayangan saya tinggal diaspal saja karena dasarnya sudah keras. Setelah saya usut, ternyata jalan itu milik Perhutani, bagian dari hutan ratusan hektar milik Perhutani disitu.
Saya langsung mengkerut nyalinya untuk eksekusi lahan ini. Meski didalam tas saya sudah disiapkan uang tunai 10 juta untuk tanda jadi. Bahkan mr B sudah saya pesan untuk menghubungi pemilik tanah yang akan langsung saya jumpai usai survei lahan. Tapi saya sudah bernadar untuk tidak mengambil lahan yang akses jalannya secara legal belum ada. Itu bakal jadi penyakit !!
Di Sleman, gara-gara kasus pemakaian jalan bersama yang tidak ada dukungan legalnya, kami harus kehilangan 370 juta guna membereskannya. Saya kapok.
(Cerita singkatnya begini ; Ada kakak beradik yang punya lahan bersebelahan, bersepakat membuat jalan bersama selebar 5 m. Adiknya merelakan jalan selebar 3 m, kakaknya merelakan jalan selebar 2 m. Semua cuma berdasar kesepakatan lisan, karena kakak beradik saling percaya. Saat lahan milik kakaknya kami beli, aktivitas progres pembangunan dianggap mengganggu adiknya, akibatnya jalan selebar 3 m yang memang ada di tanah milik adiknya dipasang pagar setinggi 2 m. Proyek kami macet 7 bln tak bisa beraktivitas. Urusannya panjang, masing-masing sewa pengacara, melapor polisi dll. Akhirnya bisa damai, tapi 370 juta melayang).
Saya kapok! Kasus itu jadi pelajaran bagi saya. Jika jalan masih milik Perhutani, saya malas mengurusnya, karena birokrasinya mungkin panjang dan berbelit belit. Belum lagi biayanya. Kalau tidak diurus, ijin perumahannya juga tak mungkin terbit karena tak pun. Kenapa saya mesti repot untuk hal hal yang belum pasti.
Lebih baik opportunity di Weleri itu saya tinggalkan, memilih berburu opportunity lainnya yang tidak mengandung resiko dalam hal jalan. Ini soal jalan, soal primer, tak boleh yang statusnya abu-abu. Pastikan ada peruntukan jalan yang terkoneksi dengan lahan yang akan kita kembangkan.
Ayo hunting lahan lagi ...