BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Selasa, 02 Agustus 2016

ANDA MESTI TAHU ASAL USUL MODAL YANG DIINVESTASIKAN DI PROYEK ANDA

SEJAK SAYA TAHU BAHWA MIYABI TAK PERAWAN LAGI ...


Sobat properti, pelajaran penting yang ingin saya sampaikan melalui artikel ini adalah bahwa anda harus menanyakan darimana asa usul uang pemodal yang akan berinvestasi membiayai proyek properti anda. 

Pasti anda sungkan, pasti anda merasa tidak sopan. Syukur syukur sudah dimodali koq malah bertanya sesuatu yang sifatnya privacy. Mau duit sendiri, duit mertua, duit pinjaman bank, itu bukan urusan saya. Ntar kalau pemodalnya tersinggung bisa bisa malah tidak jadi membiayai proyek properti kita. Itu yang anda pikirkan? Sama bro! Dulu saya juga berpikir seperti itu. Tapi sejak saya tahu bahwa Miyabi sudah tidak perawan lagi, saya berubah pikiran.

Kenapa? Ini bagian dari manajemen resiko. Karena tak semua proyek anda bakalan sukses. Bisa saja terjadi umur proyek molor, bisa terjadi labanya dibawah target, bahkan bisa terjadi proyeknya tak ada laba akibat gagal dieksekusi. 

Ada sebuah proyek saya di Sleman yang tak bisa berlanjut karena warganya resisten. Warga ramai ramai menolak saat dilakukan sosialisasi warga, akibat ada provokasi dari oknum warga tertentu. Terpaksa proyek harus cut off ditengah jalan dengan nilai kerugian kisaran 350 jutaan yang terlanjur keluar untuk biaya pra proyek.

Investornya tak mau tahu. Dia maunya uang yang sudah ditanamnya sebesar Rp 1 milyar tetap harus ada labanya. Dalam Action Plan saya berikan investor hak sebesar 25% dari potensi laba total (proyeksi laba 2,8 milyar durasi 2 thn). Lha ini kan rugi bos??? Dia malah mendelik tak mau tahu. Saya coba nego dengan hanya mengembalikan sejumlah modal yang disetor saja, dan ruginya menjadi beban saya. Investornya menolak.

Saya jelaskan bahwa yang namanya bisnis pastinya ada potensi laba dan juga ada resiko rugi. Laba yang saya tuliskan di Action Plan itu sifatnya hanya PROYEKSI, bisa naik bisa turun, bisa tercapai bisa tidak tercapai. Umur proyek juga sifatnya ESTIMASI, artinya bisa maju bisa juga mundur. Gak ada bisnis yang sifatnya fix. 

Investornya tetap bersikeras menuntut laba. Bahkan dia mengatakan bakal pakai jalur 'kekerasan' jika tuntutannya tak saya penuhi. Alamaak .. (belakangan saya tahu katanya beliau dulu ex paspampres yang dikaryakan ke jalur sipil). Saya coba desak dan mencari info apa alasannya tak mau tahu bahwa proyek ini rugi akibat force majeure. 

Akhirnya dia mengaku bahwa dari uang 1 milyar yang diinvestasikan di proyek saya, itu separonya milik temannya yang seorang perwira senior di Polda DIY. Temannya itulah yang ngotot bahwa modal yang ditanam harus kembali bersama laba yang dijanjikan di awal. Janji yang mana nih? Tentu saja janji investor saya kepada temannya yang diajak investasi. Bukan janji saya yang meletakkan segala sesuatunya secara bisnis yang bisa untung dan bisa juga rugi. Dia mengundang temannya investasi 500 jt dalam waktu 2 thn dengan laba fix 300 jt. Jika proyek hanya berjalan setahun, minta kembali 500 + 150 = 650 jt. 

Pemodal saya yang konon ex paspampres ini kemudian mengatakan dirinya pribadi bisa memahami gagalnya proyek dan cukup meminta modal kembali 500 jt. Untuk temannya harus balik 650 jt. Kerugian? Uhuk uhuk, harus saya tanggung sendiri. Mereka tak mau tahu. Bahkan saat saya tunjukkan perjanjian hitam putih yang dilegalisasi notaris tentang klausul laba/rugi, jawabnya enteng; "Saya gak baca perjanjian itu." Hmmm ....

Oh ya, investor tersebut saya kenal dari seorang mediator yang atas jasanya mendatangkan investor saya beri fee 25 jt. Gak tahunya begini endingnya. Ini jadi pelajaran mahal buat saya, makanya saya share supaya banyak yang mengambil hikmahnya. 

Pelajaran bahwa kita harus memastikan uang investor adalah ekuitas miliknya sendiri (bukan ngajak teman dan cari selisih) sebenarnya bukan cuma dari 1 kasus diatas, tapi ada beberapa kasus lainnya yang pernah saya alami. Lain kali saya ceritakan dalam artikel tersendiri. Kesimpulannya ; not recommended. Karena investor derivatif tersebut tidak kenal dengan kita dan tidak berinteraksi dengan kita, jadi cenderung kaku dan tanpa kompromi. 

Tuntutan dari investor derivatif kepada investor asli yang kita kenal, akhirnya jadi beban kita juga. Gak asyik deh, cenderung ribet dan berpotensi konflik. Apalagi yang mindset nya semacam rentenir, misal taruh 100 jadi 130 dalam waktu setahun, dengan asumsi semuanya bersifat FIX, mampuslah dirimu.

Saat proyek lancar, investor asli akan menyembunyikan investor derivatif. Tapi saat poyeknya bermasalah, barulah ada pengakuan tentang investor derivatif yang dimunculkan untuk memberikan tekanan kepada kita. 

Saat ini saya sudah bertambah cerdas dengan menambahkan klausul seperti ini ; "Pihak kedua terlebih dahulu menerangkan diri bahwa uang yang diinvestasikan di proyek ini adalah ekuitas miliknya sendiri, bukan titipan investasi dari pihak ketiga. Apabila ternyata melibatkan investasi dari pihak ketiga, maka pihak kedua membebaskan pihak pertama dari segala keterkaitan dan resiko apapun yang mungkin timbul dari pihak ketiga tersebut."

Oh ya, anda penasaran dengan ending dari kasus diatas? Tentu saja unhappy ending. Mana mau saya berhadapan dengan ex paspampres dan perwira polda, bisa konyol saya. Terpaksa saya menanggung semua kerugian tersebut meski harus nangis darah. Uhuk uhuk ..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis