BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Selasa, 11 Maret 2014

PENGUSAHA PROPERTI HARUS BISA NEGOSIASI


CARA SUSAH JADI PENGEMBANG


Seseorang mengontak saya via sms, dan menyatakan niat ingin berkonsultasi soal properti. Sebut saja namanya pak Farhat, yang memulai pembicaraan dengan bertanya apakah tanah seluas 1,5 ha dengan harga Rp. 400.000,-/m2 di daerah Cilebut Bogor layak dikembangkan?

Saya menjawab bahwa saya kurang referensi di daerah tersebut, meski dulu tahun 2004 – 2006 pernah tinggal 2 tahun di kota Bogor. Wajar tidaknya harga tanah tersebut tentunya harus dikomparasi dengan harga tanah disekitarnya, selain melihat letak lokasi tanah yang dimaksudkan,akses pencapaiannya, dan lain-lain. Mesti dilakukan survei dulu, begitu pendapat saya.

Kapan pak AW mau survei kesini?

Lho, kenapa mesti saya yang survei kesana? Bukannya anda yang punya kepentingan dengan tanah tersebut? Memangnya ada opportunity seperti apa dengan tanah tersebut? Tanya saya kepada pak Farhat.

Pak Farhat menjawab bahwa opportunity nya adalah masih ada tanah seluas 7 ha lagi dibelakangnya yang bisa dibebaskan dengan harga lebih murah (kisaran Rp. 300.000/m2).

Wah, itu bukan ooportunity yang saya maksudkan.

Saya mencoba menjelaskan bahwa opportunity yang dimaksudkan adalah apakah pemilik nya bersedia kerjasama? Pak Farhat menjawab tidak.

Kembali saya bertanya apakah pemilik nya bersedia dibayar 15 s/d 20% saja, tapi tanahnya boleh dibalik nama ke PT kita, kemudian dilakukan pengakuan hutang, dan dibayar sesuai dengan progres penjualan serta AJB PPAT yang terjadi? Pak Farhat menjawab bahwa kemungkinan pemilik nya tidak bersedia seperti itu.

Lalu apa opportunity yang ditawarkan ke saya? Kalau hanya menawari  tanah yang harus dibayar jreng, dimana-mana juga banyak. Di Yogya saja banyak tanah yang dijual kalau pembayarannya harus cash keras. Alasan apa yang membuat saya harus berburu tanah sampai ke Bogor? Sementara kantor dan pasukan saya berada di kota Yogya. Saya hanya mau menjajagi peluang diluar Yogya jika ada tanah yang bisa dikerjasamakan, atau tanahnya bisa dibayar dengan skim lunak.

Kalau begitu pak AW datang saja ke Bogor, karena pak AW yang berkompetensi soal itu dan lebih jago bernegosiasi, kata pak Farhat.

Wah, maaf. Kalau saya harus merintis peluang yang dimulai dari nol, saya tidak bersedia jauh-jauh terbang kesana dan nego kesana, karena itu akan membuang banyak waktu dan biaya. Lagipula kalau akhirnya bisa deal, saya juga tak bisa membagi goodwill apapun kepada pak Farhat, karena menurut saya peran pak Farhat hanya menunjukkan adanya tanah dijual saja. Maaf, bukannya itu biasanya diperankan oleh seorang broker (makelar)? 

Saya sudah capek melakukan hal-hal yang tidak efisien dari segi waktu dan biaya. Karena saya sudah sering diadu dan dibenturkan dengan pemilik tanah. Maksudnya, ada pihak yang mencoba bermitra dengan saya tapi hanya MENYODORKAN TANAH. Bukan MENYODORKAN PELUANG. Menyodorkan tanah artinya hanya memberi-tahu ada tanah luas sekian meter persegi, dan dijual dengan harga sekian. Saya disuruh survei sendiri, nego sendiri, menghitung potensi bisnisnya sendiri. Tapi yang menyodorkan tanah berharap kalau jadi deal, dia akan mendapatkan goodwill lumayan dan diikut-sertakan dalam pengelolaan proyek. Padahal perannya hanya (maaf) semacam perantara saja. Ujung-ujungnya saat ketemu pemilik tanah, si pemilik minta pembayaran cash keras. Capek deh.

Mestinya kalau mau bermitra dengan saya, harus MENYODORKAN PELUANG, bukan sekedar menyodorkan tanah. Ambilah peran dengan melakukan negosiasi awal guna mendapatkan deal dengan pemilik tanah. Kalau bisa kerjasama murni, itu luar biasa. Kalau bisa DP maksimal 20% dan sisanya dibayar lunak sesuai progres penjualan, itu juga bagus.

Kalau pak Farhat mau mendapat goodwill yang lumayan, ya mesti berani memulai dengan melakukan negosiasi awal dengan pemilik . Akan saya pandu dengan pakem-pakem dasar yang biasa saya jalankan, yaitu ;
-   
  1. Uang muka maksimal 20% (duapuluh persen) dari harga tanah, dibayarkan saat PPJB notariil.  Kemudian meminta grace period untuk melakukan pengurusan perijinan sampai dengan terbit Ijin Lokasi/Ijin Prinsip dari Pemda setempat. Ketika ijin sudah terbit (estimasi 2 s/d 4 bulan), maka hitungan waktu baru berlaku.
  2. Tanah kemudian dilakukan balik nama ke PT, dimana pihak PT menanda-tangani pengakuan hutang kepada pemilik  sebesar 80% x harga .
  3. Menyepakati batas waktu pelunasan, dengan asumsi 1 tahun mampu memasarkan 1 ha tanah (hitungan dimulai diluar grace period)
  4. Pembayaran  selanjutnya sesuai dengan progres penjualan, dengan realisasi pembayaran saat sudah dilakukan AJB PPAT dengan konsumen. (Pembayaran dilakukan dengan memperhitungkan nilai hutang  terhadap luasan tanah efektif yang bisa dijual. Lihat contoh perhitungan)
         Misal :
         Luas Tanah = 10.000 m2, harga Rp. 400.000/m2
         Nilai Tanah = Rp. 4.000.000.000
         Uang Muka 20% = Rp. 800.000.000
         Hutang Tanah = Rp. 3.200.000.000

         Luas Tanah (brutto) = 10.000 m2
         Luas Tanah (netto) = 60% x 10.000 m2 = 6.000 m2
         Pembayaran Tanah per 1 m2
         = Rp. 3.200.000.000 / 6.000 m2
         = Rp.    533.333/m2

Pak Farhat mengatakan bahwa dia tidak terlalu paham dengan skenario diatas dan tidak percaya diri untuk melakukan negosiasi dengan pemilik . Dia kembali mendesak (bahkan setengah memaksa) saya agar bersedia datang ke Bogor untuk menemui pemilik  dan melakukan negosiasi.

Saya tetap menolak, karena banyak pekerjaan yang harus diurus. Jika pak Farhat mau jadi pengusaha properti, ya dia harus mengambil peran untuk melakukan proses negosiasi. Karena panduan dasar sudah saya berikan. Berhasil atau tidak itu urusan nanti. Kalau tak pernah berani memulai, kapan bisa menguasai? Saya memotivasi dia bahwa negosiasi tak harus deal, jika memang tak terjadi kesepakatan yang menguntungkan pihak kita. Cari dan temukan peluang lain, yang sesuai dengan kriteria kita. Mungkin harus berburu 50 peluang sebelum menemukan 1 peluang yang bisa masuk kategori good deal.

Pak Farhat malah ngambek, dan menuduh saya setengah-setengah membantu dia. Haha .., ya mana mungkin saya harus merespon semua penawaran  yang masuk? Buang waktu buang biaya. Bahkan seandainya dibiayai sekalipun, saya tetap tak akan bersedia karena akan membuang banyak waktu saya. Tetap saya berharap siapapun yang ingin bermitra dengan saya dan memulai bisnis properti harus memainkan perannya melakukan negosiasi tanah. 

Saya hanya membantu memberikan panduan. Jika sudah terjadi deal awal, setidaknya pemilik membuka wacana untuk proses kerjasama atau bayar skim lunak, dan tinggal meminta penjelasan lebih detail dan terperinci, nah, baru disitulah saya memainkan peran saya untuk maju sendiri bertemu pemilik tanah.

Selama deal yang terjadi lunak dan menguntungkan kita, maka opportunity yang bisa kita eksekusi sangat besar. Modal kerja yang harus disediakan tidak besar, jadi kalau saya mesti mencarikan MPM (Mitra Pemilik Modal) atau investor, maka ekspektasi dari MPM atas laba usaha juga tidak besar. Pasti proporsional dengan modal yang diinvestasikan di proyek kita. Jika tanah harus dibayar kontan, maka modal yang harus disiapkan sangat besar, dan laba yang diharapkan oleh pemilik modal juga besar. Kita dapat apa? Hanya kerja bakti untuk pemodal saja.

Sobat properti, kesimpulannya adalah begini; Jika anda hanya mau menawari tanah yang harus dibayar jreng alias kontan alias hard cash, maka itu bukan DNA dan habit saya. Saya ini mengajarkan CARA GAMPANG JADI PENGEMBANG. Kalau keluar modal besar sekali akibat harus bayar tanah jreng, itu bertentangan dengan pakem saya. Itu namanya CARA SUSAH JADI PENGEMBANG, karena mesti susah payah mencari pemodal.

Jika anda (maaf) sesungguhnya hanyalah broker (mediator) yang ingin memasarkan tanah dagangan anda, maaf, saya bukan calon pembeli yang anda maksudkan. Saya belum punya alasan kenapa mesti keluar dari kandang saya di Yogya atau Semarang, jika hanya untuk membeli tanah yang harus dibayar jreng. Diluar Yogya dan Semarang, saya mesti membuka kantor baru, merekrut pasukan baru, dan itu semua ekonomi biaya tinggi. Sementara jika saya mengembangkan tanah di Yogya dan Semarang, disini lebih efisien karena sudah punya kantor dan pasukan berkekuatan lengkap.

Saya meminta maaf kepada pak Farhat karena tidak bersedia datang survei dan bertemu pemilik tanah. Dan memotivasi dia untuk melaksanakan perannya bernegosiasi dengan pemilik tanah memakai panduan diatas. Andai dia gagal, bukan berarti saya yang akan maju. Tapi dia harus menemukan peluang lain dan nego lagi sampai ada yang deal. Jika hal ini dilakukan berulang-ulang, maka hal ini akan menjadi habit dia dan lama-lama sangat terlatih.

Saya akan memainkan peran membagi skill dalam membuat Action Plan dan Business Plan yang akan saya fungsikan guna mengundang pemodal agar bersedia masuk membiayai proyek tersebut. Itulah peran saya, bagian yang harus saya kerjakan. Jika berharap semua harus saya lakukan, yaitu survei lokasi diluar kota, lalu nego dengan pemilik tanah, oh noooooo!!! Maaf saya tidak sanggup. Saya hanya mau melakukan hal ini di Yogya dan Semarang saja. Diluar itu anda yang harus melakukannya.

Pak Farhat malah tambah ngambek dan berkata; “Ya sudah, saya cari pemodal lain saja yang lebih bonafid ketimbang anda.”

No problem, hehehehe ...... Siapa bilang saya pemodal??? Justru saya mengajarkan kepada anda bagaimana menemukan opportunity di bisnis properti dengan mencari deal bagus dengan pemilik tanah (saya mengajarkan banyak trick di workshop), bagaimana merumuskan skenario legalnya saat eksekusi, bagaimana mengemasnya menjadi sebuah Business Plan yang akan kita jajakan kepada para pemodal yang ada di link saya (lumayan banyak deh). Itulah peran dan keahlian saya, yang akan saya kolaborasikan dengan anda.

Pak Farhat, jangan ngambek ah !!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis