BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Selasa, 17 Agustus 2010

SEMAR BAGONG



SEMAR BAGONG
Perlunya Time Frame Dalam Bisnis

Saat kami sedang jalan jalan memantau kompetitor disekitar proyek yang kami pasarkan, kami melihat sebuah papan info bertuliskan; DIJUAL KAVLING, disertai No HP penjual.

Lokasinya masuk kisaran 500 m dari jalan raya, terdiri atas beberapa kavling saja yang dibagi di kanan kiri dengan jalan lebar 6 m ditengahnya, yang belum ada apa apanya. Sementara proyek kami bisa diakses langsung dari jalan raya. Artinya lokasi kavlingan tersebut dibawah proyek kami.

Harga kavling efektif ditempat kami Rp 900.000/m2. Bayangan kami harga kavling disitu paling cuma kisaran 400 - 500.000/m2. Iseng-iseng saya kontak no HP penjualnya. OMG, harga per m2 adalah Rp 1,5 jt/m2. Saya terkejut. Saya minta diulang; Betul, harga 1,5 jt/m2.

Saya geleng-gelang kepala. Entah darimana atau menghitung pakai kalkulator merk apa penjual kavlingan tersebut. Jangan jangan angkanya dicomot dari langit saat ada meteor jatuh, hehe ...

Bisnis itu adalah aktivitas yang mesti direncanakan. Kita mesti mengacu pada konsep SMART.

SPECIFIC
Bisnis kita mesti jelas.

MEASURABLE
Bisnis kita mesti terukur.

ACHIEVABLE
Bisnis kita mesti bisa diraih atau direalisasi.

RESULT
Bisnis kita harus ada hasil yang jelas, yaitu laba.

TIMEFRAME
Bisnis kita meski punya batasan waktu kapan hasilnya diraih.

Penjual kavlingan tersebut mungkin tidak berkhayal, karena harga lahannya bisa saja dihargai 1,5 jt/m2 pada saatnya nanti. Misalnya saja 10 tahun lagi. Tapi apakah dia mau menunggu sampai 10 tahun kedepan??

Mungkin dia bukan penganut konsep SMART, melainkan konsep SMAR. Aspek Time Frame dihilangkan. Bisnisnya tanpa batasan waktu, umur proyek tidak ditentukan. Hehe ...

SMAR?? Semar kan bapaknya Bagong. Semar Bagong !!

JENIS KELAMIN


JENIS KELAMIN
Hubungan Produk Dan Target Market

Sisdur standar buat saya sehabis mandi adalah; ketiak diolesi obat ketek, muka diberi krim pelembab, rambut dikasih wetlook, dan leher disemprot parfum.

Tapi pagi itu parfum botol hitam pekat kesukaan saya habis. Makanya iseng-iseng saya memakai parfum milik anak perempuan saya yang kelas 2 SMP. Entah merk nya apa, saya asal semprot saja.

Acara pertama pagi itu ke bank, menemui CS yang kebetulan mantan adik kelas SMA dulu. Entah kenapa CS itu saat sedang melayani saya kok malah senyum senyum.

Mas, pakai parfum apa sih? Sepertinya ini parfum buat cewek deh. Aromanya jasmine, aroma feminim. Masak ada mahkluk berkumis parfumnya feminim ..

Saya tersenyum kecut. Baru sadar, parfum ternyata punya jenis kelamin. Saya pikir asal harum saja, biar gak bau keringat, hehe .....

Yup, sekarang kita bicara soal bisnis properti. Berkali kali saya mengupas soal SEGMENTASI dan TARGETING. Itu adalah hal yang penting. Produk yang kita bangun bukan produk asal asalan. Mesti produksi secara khusus untuk menyasar target market yang khusus.

Teman saya di Bekasi sedang dalam tahapan perencanaan membangun sebuah perumahan yang bersebelahan persis dengan RSH (rumah sederhana sehat). Dia punya target market yang secara psikografis didefinisikan; "Mereka yang pengin naik kelas, dari lingkungan RSH ke lingkungan semi real estate". Konsep yang bagus.

Saya bertanya; Apa aplikasinya secara riil didalam produk?

Dia menyebutkan;
- Jalan lingkungan di RSH cuma lebar 6 m, di perumahan ini lebar 7 atau 8 m.
- Jalan lingkungan di RSH memakai aspal penetrasi berkualitas rendah, sedangkan di perumahan ini memakai paving K200.
- Bangunan di RSH memakai batako, sedangkan di perumahan ini memakai bata merah.

Wow, aplikasi yang keren. Sesuai dengan target market yang disasar, yaitu mereka yang ingin 'naik kelas'. Artinya produk dibuat sesuai dengan target yang disasar.

Kemudian saya bertanya;
Type berapa yang dipasarkan?

Teman saya menjawab T-30 dan T-38, tapi dengan harga borongan bangunan 1,5 jt/m2 sehingga kualitas bangunanya dijamin diatas kelas RSH. Dia tidak mau type yang lebih besar, karena jika harga jualnya kemahalan dikuatirkan tidak terjangkau.

Saya sepakat dengan dia. Tapi mendengar T-30 dan T-38, langsung terbayang rumah 2 kamar saja. Padahal di rumah T-21 RSH, hampir sebagian besar sudah menambah 1 kamar lagi dibelakang. Jadi definisi naik kelas hanya diperoleh secara kualitas lingkungan dan bangunan saja.

Kemudian saya memberi usulan agar dia mengalokasikan sekitar 10% dari rencana jumlah kavling yang ada agar dibuat lebar 8. Kemudian diatasnya dibangun rumah ukuran T-65 yang memiliki 3 kamar, tapi spec nya tetap batako ala RS+ yang harga borongannya max 1 jt/m2.

Jadi definisi 'naik kelas' disini bukan secara kualitas bangunan, tapi lebih kearah jumlah kamar. Naik kelas dari rumah 2 kamar menjadi 3 kamar. Mungkin saja anaknya sudah beranjak besar dan minta kamar terpisah.

Yoi, ide bagus pren, kata teman saya menanggapi usulan tadi. Berarti definisi 'naik kelas' yang disasar menjadi lebih banyak variannya. Mulai dari kualitas bangunan, kualitas lingkungan, sampai dengan jumlah kamar serta luasan tanah lebih besar.

Pelajaran yang bisa dipetik;
SEBUAH PRODUK HARUS DIBUAT SESUAI DENGAN TARGET MARKETNYA.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis