BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Minggu, 09 Maret 2014

MATI KETIWI ALA JIN PROPERTI

AYO NGGUYU, HAHAHAHA ....


Jika selama ini saya nulis artikel selalu ada sisi pembelajarannya, maka mohon maaf jika kali ini hanya nulis kisah-kisah lucu saja, tapi semua berkaitan dengan keseharian saya didalam menjalankan bisnis properti koq. Buat lucu-lucuan saja, penghibur disaat stres melanda, disaat hutang kontraktor banyak jatuh tempo, dan piutang konsumen banyak yang telat dan belum tertagih.

Siapa tahu saat ini anda lagi ngumpet karena belum bisa bayar tagihan kontraktor, semoga kisah-kisah lucu ini bisa sejenak membuat anda lupa bahwa anda punya banyak hutang jatuh tempo, hehe ...

BERTAMU 1 MENIT



Suatu hari saya dengan perantaraan seorang broker, akan diketemukan dengan pemilik lahan. Ceritanya saya memang sudah survei sebuah lahan dan cukup berminat, makanya minta diatur waktu bertemu dengan pemilik tanah guna melakukan negoisasi. Saya diatur untuk bertemu jam 14.00, usai jam makan siang. Tetapi karena kesibukan saya mengurusi pekerjaan di internal kantor, saya datangnya telat 1 jam. Kami datang jam 15.00.

Pemilik tanah sudah menunggu di rumahnya. Seorang bapak tua pensiunan pejabat, dengan penampilan priyayi. Saya bersalaman, dan langsung duduk meski belum dipersilahkan. Saya belum sempat bicara 1 kalimat apapun, mendadak pemilik lahan sekaligus tuan rumah berkata begini ;

"Wah, anda ini pengusaha tapi komitmennya rendah. Janji jam 14.00 tetapi baru datang jam 15.00. Saya sudah 1 jam menunggu disini ..."

Saya langsung naik emosinya mendengar kalimat tersebut. Dia bukan atasan saya, kenapa memarahi saya? Saya datang sebagai pembeli, yang tentunya akan mendatangkan uang bagi dia, kenapa dia tak mau berkorban sedikitpun untuk bertemu dengan saya. Iya betul saya meleset janji, tapi sudah dikonfirmasikan melalui broker. Dan menurut saya meski dia merasa dirugikan akibat 1 jam menunggu, tak pantaslah menyebut saya "pengusaha berkomitmen rendah" hanya karena datang telat 1 jam.

Tanpa menjawab apapun, saya berdiri, mengajak salaman lagi kepada tuan rumah sambil berkata; "Saya mohon pamit, mau pulang, membatalkan negoisasi lahan." Meski dengan muka bengong, pemilik lahan menyalami saya, dan bingung menyaksikan saya berlalu dari hadapan dia. Tak sampai 1 menit saya duduk, sudah pamit untuk pulang.

Broker yang bersama saya juga bingung, dia bengong saja. Tak menyangka saya merespon seperti itu. Saya cuek, masuk mobil, dan meminta sopir saya segera pergi balik ke kantor.

Hehehehe ...., makanya jangan marah-marah ke saya dong pak.

ANGKA TIDAK BAGUS




Pernah suatu ketika saya bertransaksi dengan pemilik tanah (sebut saja namanya pak Ahok), dimana harga lahannya adalah Rp. 1.100.000.000,- Saat bernegoisasi kami sangat alot saat menentukan berapa besaran uang muka yang harus saya bayar. Saya mengajukan angka 30% uang muka, dan pelunasan 70% dibayar saat Ijin Pemanfaatan Tanah (IPT) sudah terbit. Pak Ahok ngotot meminta UM lebih besar daripada 30%, dengan alasan ini itu versi pak Ahok sendiri. Dalam nego tersebut, akhirnya saya kalah dan menyepakati UM 40%.

Ketika tiba waktunya kami bertemu di notaris guna menanda-tangani PPJB, kami hadir di kantor notaris, dan notaris membacakan aktanya didepan kami. Disebutkan uang muka Rp. 440 juta, dan pelunasan 660 juta ketika IPT sudah terbit. 

Dahi pak Ahok berkerut ketika mendengar angka 440 juta, dan dia langsung nyeletuk; 
"Bu Notaris, apa bisa UM 440 juta diganti dengan angka 390 juta? Saya alergi dengan angka 4. karena angka 4 berarti 'si' (mati). Dobel angka 4 berarti mati-mati. Itu angka yang tidak bagus. Saya usul diganti 390 juta saja."

Notaris tidak menjawab ya atau tidak, tapi meminta kami berdua kembali berunding. Giliran saya yang ngotot tak mau UM diturunkan menjadi 390 juta. Saya hanya bersedia 440 juta sesuai deal awal, atau justru 330 juta sesuai penawaran saya sebelumnya untuk membayar UM 30%. Jangan anggap saya sinting dengan menolak membayar UM 390 juta yang lebih kecil ketimbang 440 juta. Tapi dengan sadar dan sengaja saya justru ingin memanfaatkan ketidak-sukaan pak Ahok terhadap angka 44 supaya bisa kembali ke UM 30% (330 juta) saja. Akhirnya pak Ahok bersedia memenuhi permintaan saya agar UM 30% saja. Hahaha, demi menghindari angka 44, pak Ahok bersedia UM yang dia terima lebih rendah 10%. Tentu saja saya selaku pihak pembeli merasa diuntungkan.

Apa gak lucu? Ngotot minta UM 40%. Setelah tahu angkanya tidak bagus, baru bersedia turun menjadi 30%, hehehe ...


PERIKATAN JUAL BELI



Ini kejadian yang selalu saya ingat sampai sekarang. Waktu itu saya sedang melakukan transaksi pembelian lahan, dan sudah berada di kantor Notaris. Harga lahan dan cara bayar sudah sepakat, tidak ada masalah. Uang muka 30%. dan pelunasan dilakukan secara bertahap sesuai dengan penjualan, dengan waktu maksimal 24 bulan harus sudah lunas 100%.

Yang menjengkelkan adalah ketika notaris memulai pembacaan akta dengan menyebut judul PERJANJIAN PERIKATAN JUAL BELI (PPJB). Pemilik lahan nampak tidak suka dengan kata PERIKATAN, yang menurut dia itu salah. Yang benar sesuai bahasa Indonesia adalah PENGIKATAN, tak ada kata PERIKATAN. Jadi pemilik tanah meminta notaris mengganti kata PERIKATAN menjadi PENGIKATAN. Notaris mencoba menjelaskan bahwa itu bahasa baku dia selaku notaris, dengan substansi digunakan oleh penjual dan pembeli yang saling bertransaksi tetapi pembayarannya belum lunas dan obyeknya belum dibalik nama.


Menanda-tangani akta PPJB sudah sering saya lakukan. Setahu saya ada notaris yang memakai kata PERIKATAN, ada juga yang PENGIKATAN. Entah aturan bakunya seperti apa saya tidak tahu. Saya lebih concern kepada konten pasal-pasalnya, bukan soal kata PERIKATAN atau PENGIKATAN. Menurut saya kedua kata itu betul, cuma notarisnya malas mengganti minuta yang sudah terlanjur disiapkan.

Pemilik tanah tak mau begitu saja menerima penjelasan notaris, dia terus memberi argumen bahwa kata itu salah. Sepertinya dia belum pernah atau jarang bertransaksi seperti ini di notaris. Antara geli dan sebel, saya hanya diam saja mengikuti perdebatan aneh tersebut. 

Perdebatan aneh itu berlangsung hampir 20 menit, padahal belum memasuki substansi pasal-pasal yang ada didalam akta PPJB. Notaris juga kelihatan sudah kehilangan kesabarannya menghadapi klien yang aneh ini, yang mempermasalahkan kata PERIKATAN dan PENGIKATAN. Padahal apapun arti kata tersebut, tidaklah merugikan dia sama sekali. Jangan-jangan dia guru bahasa Indonesia ya? Hehehe ..., setahu saya dia ini sales supervisor sebuah produk alat kesehatan, dan tanah yang dijual sekarang adalah warisan dari ortunya. Jadi dia bukan guru bahasa Indonesia.

Lucu juga kalau ingat kejadian itu. Di akhir cerita, pemilik tanah akhirnya pasrah setelah notaris juga ngotot tak mau mengganti kata PERIKATAN menjadi pengikatan. Ada-ada saja ...

ASPEK GEOGRAFIS DIDALAM PEMASARAN PROPERTI

BELAJAR PAHAM DARI KLUB FULHAM
DI LONDON KULON (Barat)



Anda tahu klub Inggris bernama FULHAM? Ini klub yang berlaga di Premier League, meski namanya tidak setenar Chelsea, Liverpool, Arsenal, atau Manchester City. Bahkan saat ini (klasemen liga inggris 8 Maret 2014) Fulham menghuni dasar klasemen alias berada di urutan 20 dari 20 kontestan liga Inggris.

Tapi jangan pernah anda membayangkan klub di posisi juru kunci dan berpotensi degradasi (turun kasta ke divisi dibawahnya) seperti Fulham, lantas hanya punya sedikit penonton saat sedang bertanding di stadion Craven Cottage (kapasitas 25.700) milik mereka. Nyatanya penontonnya tetap penuh, dan pemain-pemain Fulham tetap dipuja para penggemarnya.

Jadi bukan hanya klub besar atau klub yang berada di papan atas klasemen saja yang memiliki dukungan penonton melimpah. Nyatanya klub kecil dan kalahan seperti Fulham tetap memiliki penggemar. Itu adalah bukti bahwa dimata pendukungnya, Fulham tetap memiliki beberapa daya tarik yang membuat pendukungnya memiliki ikatan emosional dengan klubnya.

Sobat properti, ditengah belantara rimba persaingan yang begitu ketat di bisnis properti, jangan pernah berkecil hati dengan produk yang sedang anda pasarkan. Jangan pernah merasa minder terhadap pemain-pemain besar bermodal besar yang bisa mengemas dagangannya sedemikian rupa.

Kalau mereka pameran, mereka menyewa space 6x6, dengan SPG cantik-cantik dan harum. Brosur mereka tebal, kinclong dan bisa dilipat 3. Di brosur mereka, nampak penyajian gambar-gambar mengenai jalan yang lebar, gerbang yang megah, kolam renang yang biru segar, dan berbagai assesoris yang dikemas menawan.

Sementara kita pameran hanya mampu menyewa space 2x2,5, tanpa SPG cantik karena kita hanya menugaskan staf kita yang penampilannya biasa-biasa saja (yang penting rapi). Brosur kita juga tipis, tanpa lipatan, dan penyajian di brosur tak menunjukkan adanya fasilitas wah atau gerbang wah. Hanya ada jalan lebar 6 m dan kavling-kavling yang dipasarkan, dengan fasilitas ala kadarnya (misal; play ground).

Kenapa mesti berkecil hati? Ada harga ada rupa. Didalam teori marketing kita mengenal soal SEGMENTASI dan TARGETING. Pengembang kelas wahid itu pasti menyasar target market yang berbeda dengan kita. Karena mereka mengalokasikan budget pematangan lahan yang lebih besar, tercermin dari berbagai sarana prasarana yang lebih wah. Mereka juga mengalokasikan budget overhead cost (OHC) yang lebih besar daripada kita, sebagaimana tercermin dari karyawannya yang banyak, biaya promosi yang lebih besar dll. Jika semua biaya itu dibebankan ke harga jual mereka, pastinya harga jual mereka jatuhnya lebih mahal dibanding harga jual kita.

Kenapa mesti berkecil hati? Karena menjual produk bukan sekedar bicara soal fasilitas ataupun kemasan. Ada banyak faktor lain yang menjadi pertimbangan para konsumen. Dan belum tentu semua yang dibutuhkan, diinginkan, dan diharapkan oleh konsumen mampu dipenuhi oleh pengembang-pengembang besar tersebut.

Sobat properti, meski saya belasan tahun jadi pemain properti, tapi saya juga jarang (atau tak pernah) memainkan peran sebagai market leader (pemimpin pasar), jadi karakter dan habit saya adalah sebagai market follower (pengikut pasar) atau sebagai market challenger (penantang pasar). Sekala akal dan ide-ide saya adalah untuk menantang pemimpin pasar. Konteks menantang disini bukan berarti head to head, tapi lebih kearah pengertian bahwa meskipun kita berada di wilayah dan arena kompetisi yang sama, tapi kita tetap akan survive, tetap mampu memasarkan dan menjual habis dagangan properti kita.

Saya tak akan pernah bosan membahas soal segmentasi dan targeting didalam pemasaran. Dan juga kita harus mengeksploitasi segala ide cerdas kita untuk membuat kemasan supaya produk kita tetap memiliki nilai jual di mata konsumen. Sekecil apapun lahan kita, sesedikit apapun jumlah unitnya, sejauh apapun lokasinya, itu bukan alasan untuk menyerah dan putus asa. Kita harus melakukan hal-hal yang terbaik terhadap produk kita, dan tetap bisa menemukan beberapa benefit yang dimiliki oleh produk kita, dan kemudian mendistribusikan informasi perihal beberapa benefit tersebut ke calon konsumen.

Saya memakai analogi klub Fulham. Dimana Fulham adalah nama sebuah kawasan yang terletak di barat daya kota London. Di London Raya dan kawasan metropolisnya, terdapat 6 klub profesional yang besar, yaitu; 

1. CHELSEA, stadion Stamford Bridge
2. ARSENAL, stadion The Emirates Stadium
3. WEST HAM UNITED, stadion Boleyn Ground
4. TOTENHAM HOTSPUR, stadion White Hart Lane
5. CHARLTON ATLETIC, stadion The Valley
6. FULHAM, stadion Craven Cottage


Dengan jumlah penduduk London kisaran 8,3 juta di malam hari dan hampir 10 juta di siang hari (karena banyak commuter dari luar kota), maka 6 klub profesional tersebut memiliki pendukungnya sendiri-sendiri. 

Arsenal dan Totenham Hotspur berada di kawasan London Utara, dan pendukung mereka mayoritas secara geografis adalah penduduk London Utara. West Ham United dan Charlton Atletic berada di kawasan timur kota London, dan pendukung mereka secara geografis adalah penduduk London Timur. Chelsea berada di London Raya alias pusat kota, dan pendukung Chelsea mayoritas secara geografis adalah penduduk London Raya,

Dimana posisi Fulham? Klub ini bermarkas di barat daya kota London, dan tentu saja para pendukung mereka juga penduduk yang mayoritas secara geografis bermukin di London bagian barat. Kenapa penduduk London barat tidak mendukung Chelsea yang notabene adalah klub besar dengan prestasi besar dan sarat pemain-pemain berkualitas? (saat tulisan ini dibuat, Chelsea berada di ranking #1 klasemen Liga Inggris). Karena secara geografis, mereka lebih mudah datang ke stadion milik Fulham ketimbang datang ke stadionnya Chelsea. Unsur kedekatan dan ikatan geografis memegang peran yang sangat signifikan.

Definisi pendukung yang diuraikan diatas adalah pendukung yang secara fisik sering hadir langsung ke stadion menyaksikan klub kesayangannya bertanding. Bukan pendukung di layar kaca, karena di abad teknologi informasi seperti saat ini, klub-klub yang saya sebutkan diatas punya pendukung secara global diseluruh dunia.

Pelajaran apa yang bisa anda petik dari hal diatas? Ternyata Segmentasi dan Targeting secara GEOGRAFIS sangat dominan disaat kita melakukan pemasaran produk kita. Diluar Segmentasi dan Targeting secara Demografi (usia, mata pencaharian, suku/ras, jumlah penghasilan, agama, jenis kelamin dll),maka aspek Geografis adalah aspek terpenting didalam pemasaran. Target market kita yang utama seharusnya adalah penduduk yang berada dalam radius 5 KM dari proyek yang kita pasarkan.

Implementasi (penerapan) di lapangan adalah seperti ini ;

Misal saya punya proyek properti di kawasan Semarang Timur, maka ketika saya memilih tempat pameran, saya memilih Java Mall (Peterongan, Semarang) yang notabene paling dekat dengan kawasan Semarang Timur. Asumsinya adalah penduduk di Semarang Timur akan berbelanja kesitu. Dan karena saya tahu target market utama kami adalah penduduk di Semarang Timur, maka kesanalah saya menggelar pameran.

Saya pernah memasarkan proyek properti di kabupaten Bogor. Dan suatu ketika kami mendapat penawaran space pameran gratis di daerah Mangga Dua Jakarta, yang disediakan oleh Bank BII yang menjadi rekanan baik kami. Saya menolak space gratis tersebut, karena saya merasa target market kami secara geografis adalah penduduk Bogor, jadi kalau menggelar pameran jauh di Mangga Dua Jakarta sana, hanya akan membuang waktu dan biaya, tapi hasilnya sia-sia.

Saya menyarankan kepada anda agar didalam membuat media promosi in door ataupun out door, on air ataupun off air, senantiasa menyebutkan dimana lokasi keberadaan proyek anda, karena itu adalah informasi yang sensitif di benak konsumen. Pilihlah ikon lokasi yang punya 'nilai jual" di benak konsumen. Misal, saya punya proyek di daerah Trihanggo, Gamping, Sleman. Jika saya menyebut lokasi di Gamping, image nya adalah jauh. Karena Gamping adalah kecamatan yang wilayahnya lumayan luas. Persepsi orang bisa mengarah ke area yang jauh di pinggir kota. Karena itu saya lebih memilih menyebut di kawasan Godean, hanya 4,5 KM dari Tugu. Nah, penyebutan lokasi ini membuat konsumen lebih merasa tertarik.

Penjelasan diatas bukan berarti saya menganjurkan anda untuk hanya berkutat melakukan pemasaran di kawasan geografis yang berada di radius 5 KM dari proyek anda. Yang saya maksudkan adalah bahwa selama anda belum mengobok-obok dan menggali potensi dari area ring 1 (radius 5 KM), jangan mencoba melangkah ke ring 2 (radius 5 s/d 10 KM), karena potensi terbesar ada di area ring 1.

Selamat berusaha, semoga sukses dan banyak closing ....




Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis