Jika selama ini saya nulis artikel selalu ada sisi pembelajarannya, maka mohon maaf jika kali ini hanya nulis kisah-kisah lucu saja, tapi semua berkaitan dengan keseharian saya didalam menjalankan bisnis properti koq. Buat lucu-lucuan saja, penghibur disaat stres melanda, disaat hutang kontraktor banyak jatuh tempo, dan piutang konsumen banyak yang telat dan belum tertagih.
Siapa tahu saat ini anda lagi ngumpet karena belum bisa bayar tagihan kontraktor, semoga kisah-kisah lucu ini bisa sejenak membuat anda lupa bahwa anda punya banyak hutang jatuh tempo, hehe ...
BERTAMU 1 MENIT
Suatu hari saya dengan perantaraan seorang broker, akan diketemukan dengan pemilik lahan. Ceritanya saya memang sudah survei sebuah lahan dan cukup berminat, makanya minta diatur waktu bertemu dengan pemilik tanah guna melakukan negoisasi. Saya diatur untuk bertemu jam 14.00, usai jam makan siang. Tetapi karena kesibukan saya mengurusi pekerjaan di internal kantor, saya datangnya telat 1 jam. Kami datang jam 15.00.
Pemilik tanah sudah menunggu di rumahnya. Seorang bapak tua pensiunan pejabat, dengan penampilan priyayi. Saya bersalaman, dan langsung duduk meski belum dipersilahkan. Saya belum sempat bicara 1 kalimat apapun, mendadak pemilik lahan sekaligus tuan rumah berkata begini ;
"Wah, anda ini pengusaha tapi komitmennya rendah. Janji jam 14.00 tetapi baru datang jam 15.00. Saya sudah 1 jam menunggu disini ..."
Saya langsung naik emosinya mendengar kalimat tersebut. Dia bukan atasan saya, kenapa memarahi saya? Saya datang sebagai pembeli, yang tentunya akan mendatangkan uang bagi dia, kenapa dia tak mau berkorban sedikitpun untuk bertemu dengan saya. Iya betul saya meleset janji, tapi sudah dikonfirmasikan melalui broker. Dan menurut saya meski dia merasa dirugikan akibat 1 jam menunggu, tak pantaslah menyebut saya "pengusaha berkomitmen rendah" hanya karena datang telat 1 jam.
Tanpa menjawab apapun, saya berdiri, mengajak salaman lagi kepada tuan rumah sambil berkata; "Saya mohon pamit, mau pulang, membatalkan negoisasi lahan." Meski dengan muka bengong, pemilik lahan menyalami saya, dan bingung menyaksikan saya berlalu dari hadapan dia. Tak sampai 1 menit saya duduk, sudah pamit untuk pulang.
Broker yang bersama saya juga bingung, dia bengong saja. Tak menyangka saya merespon seperti itu. Saya cuek, masuk mobil, dan meminta sopir saya segera pergi balik ke kantor.
Hehehehe ...., makanya jangan marah-marah ke saya dong pak.
ANGKA TIDAK BAGUS
Pernah suatu ketika saya bertransaksi dengan pemilik tanah (sebut saja namanya pak Ahok), dimana harga lahannya adalah Rp. 1.100.000.000,- Saat bernegoisasi kami sangat alot saat menentukan berapa besaran uang muka yang harus saya bayar. Saya mengajukan angka 30% uang muka, dan pelunasan 70% dibayar saat Ijin Pemanfaatan Tanah (IPT) sudah terbit. Pak Ahok ngotot meminta UM lebih besar daripada 30%, dengan alasan ini itu versi pak Ahok sendiri. Dalam nego tersebut, akhirnya saya kalah dan menyepakati UM 40%.
Ketika tiba waktunya kami bertemu di notaris guna menanda-tangani PPJB, kami hadir di kantor notaris, dan notaris membacakan aktanya didepan kami. Disebutkan uang muka Rp. 440 juta, dan pelunasan 660 juta ketika IPT sudah terbit.
Dahi pak Ahok berkerut ketika mendengar angka 440 juta, dan dia langsung nyeletuk;
"Bu Notaris, apa bisa UM 440 juta diganti dengan angka 390 juta? Saya alergi dengan angka 4. karena angka 4 berarti 'si' (mati). Dobel angka 4 berarti mati-mati. Itu angka yang tidak bagus. Saya usul diganti 390 juta saja."
Notaris tidak menjawab ya atau tidak, tapi meminta kami berdua kembali berunding. Giliran saya yang ngotot tak mau UM diturunkan menjadi 390 juta. Saya hanya bersedia 440 juta sesuai deal awal, atau justru 330 juta sesuai penawaran saya sebelumnya untuk membayar UM 30%. Jangan anggap saya sinting dengan menolak membayar UM 390 juta yang lebih kecil ketimbang 440 juta. Tapi dengan sadar dan sengaja saya justru ingin memanfaatkan ketidak-sukaan pak Ahok terhadap angka 44 supaya bisa kembali ke UM 30% (330 juta) saja. Akhirnya pak Ahok bersedia memenuhi permintaan saya agar UM 30% saja. Hahaha, demi menghindari angka 44, pak Ahok bersedia UM yang dia terima lebih rendah 10%. Tentu saja saya selaku pihak pembeli merasa diuntungkan.
Apa gak lucu? Ngotot minta UM 40%. Setelah tahu angkanya tidak bagus, baru bersedia turun menjadi 30%, hehehe ...
PERIKATAN JUAL BELI
Ini kejadian yang selalu saya ingat sampai sekarang. Waktu itu saya sedang melakukan transaksi pembelian lahan, dan sudah berada di kantor Notaris. Harga lahan dan cara bayar sudah sepakat, tidak ada masalah. Uang muka 30%. dan pelunasan dilakukan secara bertahap sesuai dengan penjualan, dengan waktu maksimal 24 bulan harus sudah lunas 100%.
Yang menjengkelkan adalah ketika notaris memulai pembacaan akta dengan menyebut judul PERJANJIAN PERIKATAN JUAL BELI (PPJB). Pemilik lahan nampak tidak suka dengan kata PERIKATAN, yang menurut dia itu salah. Yang benar sesuai bahasa Indonesia adalah PENGIKATAN, tak ada kata PERIKATAN. Jadi pemilik tanah meminta notaris mengganti kata PERIKATAN menjadi PENGIKATAN. Notaris mencoba menjelaskan bahwa itu bahasa baku dia selaku notaris, dengan substansi digunakan oleh penjual dan pembeli yang saling bertransaksi tetapi pembayarannya belum lunas dan obyeknya belum dibalik nama.
Menanda-tangani akta PPJB sudah sering saya lakukan. Setahu saya ada notaris yang memakai kata PERIKATAN, ada juga yang PENGIKATAN. Entah aturan bakunya seperti apa saya tidak tahu. Saya lebih concern kepada konten pasal-pasalnya, bukan soal kata PERIKATAN atau PENGIKATAN. Menurut saya kedua kata itu betul, cuma notarisnya malas mengganti minuta yang sudah terlanjur disiapkan.
Pemilik tanah tak mau begitu saja menerima penjelasan notaris, dia terus memberi argumen bahwa kata itu salah. Sepertinya dia belum pernah atau jarang bertransaksi seperti ini di notaris. Antara geli dan sebel, saya hanya diam saja mengikuti perdebatan aneh tersebut.
Perdebatan aneh itu berlangsung hampir 20 menit, padahal belum memasuki substansi pasal-pasal yang ada didalam akta PPJB. Notaris juga kelihatan sudah kehilangan kesabarannya menghadapi klien yang aneh ini, yang mempermasalahkan kata PERIKATAN dan PENGIKATAN. Padahal apapun arti kata tersebut, tidaklah merugikan dia sama sekali. Jangan-jangan dia guru bahasa Indonesia ya? Hehehe ..., setahu saya dia ini sales supervisor sebuah produk alat kesehatan, dan tanah yang dijual sekarang adalah warisan dari ortunya. Jadi dia bukan guru bahasa Indonesia.
Lucu juga kalau ingat kejadian itu. Di akhir cerita, pemilik tanah akhirnya pasrah setelah notaris juga ngotot tak mau mengganti kata PERIKATAN menjadi pengikatan. Ada-ada saja ...