BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Minggu, 01 Januari 2012

OTAK ATIK KELAMIN ORANG



OTAK-ATIK KELAMIN ORANG

ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Seorang teman yang profesinya dokter spesialis kulit dan kelamin yang sedang ambil cuti dan pulang kampung mengajak saya ketemuan dan makan siang di hari pertama tahun 2012 ini. "Ada opportunity bagus bro. Saya perlu campur tangan Jin Properti buat menyiapkan proposal singkatnya untuk menggaet investor ...," kata pak dokter.

Rupanya dia punya klien yang memiliki lahan 3 ha di daerah Bedahan Sawangan Depok tapi masih berstatus girik dan belum bersertipikat. NJOP tahun 2011 sudah Rp 243.000/m2, tapi pemilik tanah bersedia dihargai Rp 150.000/m2. Kliennya ini perlu uang cash Rp 300 juta buat belikan mobil baru untuk bini mudanya, dan menyerahkan lahannya untuk dikerjasamakan. Lahan boleh dibalik nama ke PT milik partner dan bayarnya bertahap tapi harus lunas 3 tahun.

Wah, ini semi hot deal nih, begitu pemikiran saya sambil menyiapkan kertas dan pena buat corat coret. Terus terang di benak saya sedang berpikir kalau klien seorang dokter kulit kelamin mestinya ya sakit kelamin ya? Bukan sakit hidung atau tenggorokan. Nah apa ada hubungannya antara sakit kelamin dan bini muda yang minta dibelikan mobil baru? Ups, ini sih sudah masuk wilayah pribadi. Saya tak perlu tahu, hehe ..

Kemudian saya buatkan hitungan singkatnya sbb;

PROPOSAL SINGKAT

Luas Lahan ; 3 hektar
Harga ; Rp 150.000/m2
Total Nilai Lahan ; Rp 4,5 milyar
(NJOP saat ini = Rp 243.000/m2)

SKENARIO PEMBAYARAN

LAHAN
Bayar Lahan = Rp 300.000.000
Talangan-Talangan ;
PPH 5% = Rp 360.000.000,-
SPH (Surat Pelepasan Hak) =
Rp 3.000,-/m2 x 3 ha
= Rp 90.000.000,-

TOTAL (a) = Rp 750.000.000,-

BIAYA-BIAYA ;
Perijinan (Ijin Lokasi, IPR, Siteplan dll)
= Rp 225.000.000,-
Sertifikasi = Rp 300.000.000,-
BPHTB = Rp 360.000.000,-

TOTAL (b) = 885.000.000,-

MODAL KERJA
Kantor + Inventaris = 100.000.000,-
Overhead 4 bulan x Rp 50.000.000,-
= Rp 200.000.000,-
Biaya pematangan lahan
= (60% x 3 ha x Rp 150.000) x 20%
= Rp 540.000.000,-

TOTAL (c) = Rp 840.000.000,-

GRAND TOTAL = Rp 2.475.000.000,-
Pembulatan = Rp 2,5 milyar

SKENARIO INVESTASI

MODAL Rp 2,5 Milyar
MODAL KEMBALI di bulan ke 18

LABA = 1.8 Milyar/ha
Total Laba = Rp 5.4 Milyar

Umur Proyek = 30 bulan

* * *

Pak dokter nampak antusias melihat angka-angka yang saya rincikan. Dia mengaku sudah punya calon investor teman seprofesinya sendiri yang siap mengucurkan modal dan pak dokter diberi saham goodwill 20%. Pak dokter meminta saya nanti yang mengelola proyek tersebut dan saham goodwill 20% dibagi berdua.

Saya katakan kalau saham goodwill 20% terlalu kecil jika MPM (mitra pemilik modal) hanya sleeping partner, bukan ikut aktif mengelola proyek. Nanti saya tawarkan ke teman saya saja deh yang juga kapabel sebagai investor, kita minta 30 - 35% supaya kalau dibagi berdua masih lumayan.

"Oke oke bro, aku percayakan ke kamu saja yang mengatur skenarionya. Ini kan bidangmu. Kalau bidangku adalah otak-atik kelamin orang. Silahkan cari investor lain yang berniat eksekusi proyek Bedahan Sawangan. Kalau mentok baru nanti pakai investorku yang cuma menawarkan porsi 80:20," kata pak dokter sambil ketawa ngakak.

MAK COMBLANG YANG TAK DIANGGAP



MAK COMBLANG YANG TAK DIANGGAP

ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Dalam sebuah penerbangan dari Jakarta ke Semarang di tahun 2002 yang lalu, saya ketemu adik angkatan di FT Arsitektur Undip, seorang cewek yang menurut saya sih lumayan manis. Point 6,99 deh. Kurang 0,01 sudah masuk kategori cantik.

Seperti biasa pasti tukar cerita dan informasi soal karir serta keluarga. Eh, dia ngaku masih jomblo di usia yang sudah menginjak kepala 3. “Belum dapat jodoh nih, cariin dong, mas … Serius nih.” begitu katanya padaku. Cewek manis, smart, pendidikan tinggi, sudah kerja di perusahaan besar dan mapan. Ini sih dagangan yang mudah laku menurut saya jika boleh disebut ‘dagangan’.

Tak sampai 2 minggu adik angkatan tadi saya kenalkan dengan relasi saya yang juga bujangan dan punya usaha di bidang percetakan dan foto copy. Ketemuannya di sebuah rumah makan, dan saya yang membayari nota tagihan di hari percomblangan itu saya lakukan. Tujuan saya biar mereka saling kenal dan tukar nomor telepon. Selanjutnya biar berjalan sendiri secara alami ..

Boleh percaya boleh tidak, tak sampai 1 tahun sejak percomblangan itu, mereka berdua menikah. Tentu saja saya jadi tamu istimewa di hari pernikahan mereka. Bayangkan, bertahun-tahun si cewek menunggu jodohnya tak pernah datang, dan saya ditunjuk Tuhan jadi perantara dia mencarikan jodoh.

* * *

Sobat properti, saya diperlakukan istimewa di hari pernikahan mereka, karena sayalah comblang alias perantara pasangan yang menikah itu. Mereka berdua mengakui jasa saya sebagai comblang.

Tapi di proyek yang saya pasarkan pernah ada comblang yang tidak dianggap lho. Ceritanya ada seseorang yang datang ke front office dan menagih fee perantara (mediator) untuk sebuah transaksi (sebut saja transaksi A-02 atas nama bang Toyib). Dia mengaku bahwa 3 minggu lalu telah memberikan brosur perumahan kami kepada bang Toyib, juga mengantar ke lokasi proyek saat maghrib dan kantor pemasaran sudah tutup. Hanya saja ketika bang Toyib membayar uang tanda jadi unit A-02 di kantor pemasaran terjadi diluar sepengetahuan dia.

Tentu saja kami menolak klaim tersebut. Peran Mak Comblang tak dianggap. Kami tidak mengakui adanya klaim yang dilakukan setelah terjadi transaksi. Bisa saja dia punya kontribusi beneran, bisa juga asal mengaku-ngaku supaya dapat fee. Konfirmasi sebagai mediator harus dilakukan sebelum terjadi transaksi. Dan untuk itu ada Form Mediator yang dibuat secara tertulis. Disitu diatur juga mengenai ketentuan kapan komisi penjualan bisa diklaim oleh mediator.

Saat kami melakukan konfirmasi secara diam-diam ke bang Toyib, kami dapat info bahwa sebenarnya memang benar mediator tadi yang telah memberikan brosur dan mengantar survei lokasi. Tapi karena aturan main tak memperbolehkan klaim sesudah transaksi, kami tetap tidak bersedia membayarkannya.
Sobat properti, apakah produk properti anda menyediakan fee mediator seperti yang biasa saya berlakukan di proyek-proyek kami?

Saat saya masih menjadi Marketing Manager di Pulau Batam dahulu (1994 s/d 2000), dalam catatan saya dari 10x transaksi kemungkinan besar 2 atau 3 transaksi diantaranya melalui jasa mediator alias perantara. Artinya kontribusi pihak lain diluar sales force internal kita sendiri mencapai 20 - 30%.Nilai komisi penjualan (marketing fee) yang disediakan oleh perusahaan kami adalah 1% dari harga transaksi. Yang boleh diklaim saat pembayaran konsumen sudah mencapai 20% dari harga transaksi.

Profil mediator ini macam-macam. Ada yang ibu rumah tangga, ada sales otomotif, ada sales asuransi, ada sales kartu kredit, ada HRD Manager dll. Hampir semuanya menjadi mediator dalam konteks ‘iseng-iseng berhadiah’, bukan secara khusus bekerja memburu fee. Ini hanya dijadikan pekerjaan sampingan saja. Dan maksimal dapat 2 pembeli mereka sudah tak produktif lagi dan akan datang mediator-mediator lainnya.
Tapi entah kenapa untuk proyek-proyek yang saya kembangkan dan pasarkan di pulau Jawa, prosentase transaksi yang memakai jasa mediator sedikit sekali. Dari 20x transaksi mungkin hanya ada 1 mediator. Berarti cuma 5% saja kontribusinya.

Ketika nostalgia manisnya jasa mak comblang (mediator) ini saya geber dan saya optimalkan di proyek Grand Greenwood Manyaran Semarang bulan Desember tahun 2010 yang lalu, kami berhasil menjual lebih dari 200 unit dalam waktu 11 hari saja. Ini kasus riil, bukan fiktif. Meski kesuksesan itu bukan semata-mata faktor mediator yang dalam ilmu pemasaran masuk ke aspek PLACE (Distribution), tetapi sinergi dari aspek PROMOSI yang tepat, dan juga PRICING STRATEGY pakai Teori Mike Tyson yang luar biasa dahsyatnya.

Apa itu Teori Mike Tyson?? Sssstt, akan dibahas dan dibagikan dalam artikel tahun depan.

TEORI NASI GORENG PETE



TEORI NASI GORENG PETE

ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Tadi malam saya diajak kuliner oleh teman lama yang berbobot 120 kg. Kami memilih warung nasi goreng di dekat alun-alun kabupaten Semarang. Saya pesan 1 porsi nasi goreng babat, dan dia pesan 1 porsi nasi goreng ayam pete. Ada request khusus; petenya digoreng sampai kering sekali.

Nasi goreng ayam pete pesanan teman saya dimasak duluan. Gila coy, buah pete 1 strip dirontokin semua dimasukkan ke penggorengan. Kurang lebih berisi 20 biji pete. Usai dimasak, dihidangkan ke meja kami, dan penjual nasi goreng bersiap membuat nasgorbat pesanan saya.Eh, teman saya yang berbobot 120 kg mendadak ngomel-ngomel; “Bang, bukannya sudah saya bilang, petenya digoreng sampai kering. Ini kok dalamnya masih ada yang hijau. Tolong digoreng lagi deh!” Kemudian pete-pete yang katanya belum digoreng kering itu dikumpulin dalam satu piring kecil lalu diserahkan ke penjual nasgor untuk digoreng lagi.

Permintaannya dipenuhi setelah nasgorbat pesanan saya selesai dimasak. Petenya dimasukkan wajan dan digoreng lagi sampai kering, baru dihidangkan kembali ke teman saya. “Nah, ini baru pete enak, kemlethus rasanya ….”, kata mister 120 kg sambil melahap nasi goreng pete kesukaannya.

* * *

Sobat properti, menurut anda apakah dengan adanya kejadian pete digoreng sampai 2x itu membuat harga 1 piring nasi goreng petenya berubah harga atau naik harga? Saya yakin tidak. Padahal menggoreng 2x berarti keluar tenaga 2x, menghabiskan bahan bakar 2x. Harganya tidak bertambah. Tetap dihitung berdasarkan harga sepiring nasi goreng dan buah pete 1 strip.

Apakah itu aplikasi teori kepuasan pelanggan ala penjual nasi goreng? Kalau bisa memenuhi request pembeli tak akan ada penambahan harga apapun. Paling banter ucapan terima kasih. Tapi saat request pembeli tidak terpenuhi, sudah kena omelan, masih harus bekerja 2x. Keluar keringat tanpa kompensasi apapun.

Apa hubungan kisah mister 120 kg diatas dengan pelajaran properti yang akan saya bagikan dalam artikel ini?
Di sebuah proyek yang saya kelola, salah satu pembeli merasa bahwa kualitas keramik sesuai spesifikasi standar belumlah memuaskan selera dia, sehingga dia ingin lakukan upgrade dengan keramik yang lebih bagus dan lebih mahal. Pembeli menyampaikan permintaan secara lisan kepada staf pemasaran, yang berjanji akan meneruskannya kepada divisi teknik.

Apa yang terjadi 2 bulan berikutnya? Pembeli ngomel-ngomel karena saat menengok ke lapangan, keramik kualitas standar sudah terlanjur dipasang di separoh lebih luasan lantai. Padahal dia sudah request akan diganti keramik yang lebih bagus yang akan dibelikannya sendiri.

Demi memberikan servis kepada pembeli karena memang ini kesalahan kami, terpaksa keramik yang sudah terpasang dibongkar dan diganti dengan keramik yang didropping oleh pembeli. Untuk pekerjaan membongkar ini kami harus keluar biaya ekstra atas beban kami sendiri, bukan ditagihkan ke pembeli.
Kasus ini persis kejadiannya dengan kisah pete goreng yang digoreng 2x demi memenuhi request pembeli. Jika dilakukan dengan baik tak dapat apa-apa selain rasa senang bisa menjelankan prinsip kepuasan pelanggan. Tapi jika lalai menjalankan request, beban biaya tambahan yang muncul harus kita pikul. Tidak balance menurut saya.

Sejak kejadian itu saya melakukan perubahan kebijakan. Konsep dasarnya adalah; jika kita keluar keringat mestinya harus dapat kompensasi. Bukan masalah tak mau menservis konsumen, tapi mencari keseimbangan atas resiko yang mungkin timbul. Timbulah apa yang disebut Form Perubahan Desain atau Perubahan Spesifikasi Bangunan. Ini permintaan resmi dari pembeli untuk merubah desain atau merubah spec bangunan. Kami melayani secara resmi tapi meminta Biaya Koordinasi dan Pengawasan sebesar 30% dari nilai perubahan. Bukan melakukannya secara cuma-cuma.

Kami hanya membatasi untuk perubahan minor saja, bukan perombakan ekstrem dan total dengan pertimbangan jika sampai transaksi batal, maka unit yang sudah dirombak tetap mudah dijual ke pembeli baru karena bentuknya masih mendekati standar, bukan hasil customize. Misal; menggeser pintu kamar mandi, mengubah kloset jongkok menjadi kloset duduk, upgrade keramik lantai, upgrade kusen dll.

Apakah anda memilih menjalankan Teori Nasi Goreng Pete ini atau menjadikan servis perubahan desain dan perubahan spec bangunan itu justru sebagai benefit yang bisa dinikmati konsumen? Itu adalah hak anda. Tak ada yang benar dan salah disini. Tapi jika tanpa servis itu ternyata produk anda sudah memiliki banyak benefit yang menarik, saya menyarankan lebih baik anda mengaplikasikan teori nasi goreng pete dengan meminta biaya koordinasi dan pengawasan. Bukan semata-mata mencari income tambahan, tetapi menjadikannya semacam premi apabila terjadi resiko munculnya biaya tak terduga.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis