SAYA SUKA 69.. ANDA JUGA KAN?
Ada sebuah akun di contact list BB saya, selama ini hanya
saya kenal sebagai fans berat MU (Manchester United). Kenapa? Karena setiap
saya memasang PP atau menulis status soal CHELSEA klub jagoan saya, dia selalu
merespon negatif. Maklum dia salah seorang Manchunian (fans MU), dan siapapun
tahu Chelsea bersaing dengan MU. Meski disebut bersaing sebenarnya tidak tepat
juga sih di musim 2013/2014 ini, karena Chelsea di urutan 1, sementara MU di
urutan ke 7. Oh ya, nama akun tersebut Muhamad Dahlan.
Baru-baru ini, setelah dia tahu bahwa Chelsea menempati
ranking #1 di klasemen Liga Inggris usai menghajar Newcastle United 3-0, dia
mengucapkan selamat kepada saya. Habis mengucapkan selamat, eh dia nanya-nanya
alias minta konsultasi soal proses KPR konsumen dia di Makasar yang tak pernah
disetujui full plafond oleh bank.
“Lho, anda ini pengembang juga?” Saya bertanya enteng.
Saya pikir dia teman saya di komunitas sepakbola (saya mantan GM PSIS Semarang,
mantan CEO Aceh United dan Persiraja Banda Aceh).
“Gimana sih, suhu? Saya kan murid workshop KETEMU JIN
PROPERTI juga di Jakarta dulu. Kalau bukan peserta workshop, darimana saya tahu
PIN suhu AW? Cuma selama ini memang saya gak pernah ajak chat soal properti
....” aku mas Dahlan.
Alamaaak, rupanya Manchunian ini muridnya Jin Properti
juga. Hahaha .... Satu frekwensi ternyata dengan saya, meski urusan klub jagoan
jelas-jelas beda.
Kemudian mas Dahlan bercerita bahwa dia memasarkan
belasan unit rumah menengah di Makasar (entah dimana saya lupa). Sudah terjual
habis, sedang dibangun, dan sedang diproses KPR nya di bank. Yang membuat dia
penasaran, tak ada satupun konsumennya yang disetujui plafond kreditnya secara
penuh alias full plafond. Semua disetujui dibawah nilai yang diajukan, dan
membawa konsekwensi mesti menambah Uang Muka. Padahal tak semua konsumen
sanggup menambah uang muka. Kalaupun mau menambah, pasti meminta waktu tambahan
3 – 4 bulan lagi. Secara cashflow dia merasa rugi karena seharusnya sudah bisa
akad kredit dan menerima pencairan, terpaksa mundur lagi beberapa bulan.
“Minta advise nya nih, suhu ...”, kata mas Dahlan.
Kemudian saya bertutur tentang aturan baru BI yang
bernama LTV (Loan To Value), yaitu kebijakan BI untuk mencegah terjadinya buble
di bisnis properti dengan melakukan pengetatan rasio pinjaman terhadap nilai
aset. Saya menduga bahwa konsumen-konsumen tersebut mungkin membeli rumah di
proyek mas Dahlan sebagai rumah kedua, bukan rumah pertama, sehingga
disyaratkan membayar Uang Muka lebih besar. Bisa juga karena type bangunan yang
dibangun adalah type 70 keatas sehingga dianggap rumah menengah yang harus
membayar Uang Muka minimal 30%.
“Ohhh ..., ada aturan seperti itu ya? Iya sih rumah yang
saya pasarkan kebetulan type 70. Di brosur tertulis type 70, di IMB juga
tertulis type 70. Jadi apa karena penentuan type 70 ini yang membuat bank
meminta konsumen membayar uang muka sebesar 30% ya? Pantesan semua diminta
menambah uang muka ...” mas Dahlan bertanya sendiri dan menjawab sendiri.
Kemudian saya menjelaskan, bahwa di beberapa proyek yang
saya kembangkan, saya lebih suka memakai type 69 untuk model rumah 1 lantai.
Bahkan jika aslinya type 72 s/d 75 sekalipun, saya tetap mengaku di brosur type
69. Percaya sama saya deh, jarang ada konsumen yang mengukur luasan bangunannya
secara detail. Mereka biasanya hanya melihat lay-out denahnya saja. Asal kamar
utamanya luas dan nyaman serta punya KM/WC didalam, mereka sudah happy. Kalau
untuk memborongkan ke kontraktor, saya tetap pakai luasan asli (misal; aslinya
72 ya dihitung 72). Untuk budgeting (saat kita menghitung harga jual) juga
pastinya tetap memakai luasan asli, supaya tidak defisit. Jadi penyebutan type
69 ini semata-mata untuk konsumsi perbankan saja.
Sobat properti, saya lebih suka menyebut type 69. Karena
jika kita menuliskan type 70, meski selisih hanya 1 m2 saja, dalam definisi LTV
(loan to value) sudah masuk kategori rumah menengah yang uang mukanya minimal
30%. Kebijakan ini memang mengundang pro dan kontra dari praktisi properti dan
pengamat properti, karena mengklasifikasikan bangunan berdasar type (luasan
bangunan) terkadang tidak relevan. Di DKI mungkin type 70 masuk kategori rumah
menengah, tapi di luar pulau Jawa banyak rumah type 70 yang harga jualnya masih
dibawah 300 juta dan pembelinya adalah end user (bukan investor apalagi
spekulan), yang tak pantas diberi syarat membayar uang muka 30%. Tapi peraturan
tetaplah peraturan. Kalau ditawar tidak bisa, ya disiasati saja.
Kepada mas Dahlan asal Makasar tersebut, saya hanya
memberi advise supaya dimasukkan saja ke bank lainnya, dan di form aplikasi
coba ditulis type 69, jangan type 70. Lengkapi juga dengan dokumen pendukung
(misal; denah dan tampak) dengan juga menyebut type 69. Skenario ini barangkali
membantu konsumen supaya tidak dimintai uang muka 30%. Konsumen tak bakal
merasa dirugikan, karena yang dia terima aslinya tetaplah type 70. Penyebutan type
69 hanya formalitas belaka untuk keperluan ajukan KPR.
Atau tetap saja dimasukkan ke bank sebelumnya tapi form
aplikasi dan berkas-berkasnya disesuaikan. Speak speak aja dengan marketing
officernya. Minta dibantu supaya konsumen bisa acc full plafond meski uang
mukanya hanya 20%. Jangan malu-malu mengaku akan merevisi sebutan type 70
menjadi type 69. Kenapa mesti malu-malu jika nyatanya dengan menyebut type 69
semua jadi lancar.
Mas Dahlan berterima kasih atas wacana tersebut dan akan
segera ditindak-lanjuti.
Saya suka type 69. Anda juga kan??? Jangan malu-malu deh ...