MANAJEMEN RESIKO
(RISK MANAGEMENT)
Buat
rekan-rekan properti yang mau buka proyek di DIY, khususnya Sleman, saya pesan
supaya berhati-hati dengan proses sosialisasi warga. Karena ini sesuatu yang
susah-susah mudah. Banyak berita tentang warga yang resisten alias menolak
sebuah proyek. Ada beberapa proyek condotel yang ditolak oleh warga. Bahkan
yang terakhir ada berita pembangunan bandara baru di Kulonprogo juga ditentang
oleh warga (baca: LSM).
Saya tak mau membahas tentang substansi penolakan, takut analisa saya subyektif dan kurang informasi. Lebih baik saya cerita saja tentang kasus yang saya alami sendiri di sebuah proyek saya di kabupaten Sleman yang juga mengalami kejadian yang sama.
Beberapa bulan yang lalu saya mengeksekusi sebuah proyek berlokasi bagus dekat jalan Godean, mau saya jadikan proyek kostel 3 lantai sejumlah 10 unit. Harga tanah kisaran 8M dan saya baru bayar DP 1M. Untungnya saya sudah punya kebiasaan melakukan manajemen resiko dengan menambahkan klausul EMERGENCY EXIT yang berkaitan dengan sosialisasi warga.
Kurang lebih bunyinya begini: Penjual harus membantu pembeli dalam melakukan proses sosialisasi warga. Jika warga menolak pembangunan proyek kostel, maka transaksi dianggap batal dan penjual harus mengembalikan uang muka kepada pembeli dalam waktu 3 bulan.
Nah, manajemen resiko dan klausul emergency exit itulah yang telah menyelamatkan saya dari resiko investasi.
Warga setempat ternyata menolak kehadiran proyek kostel kami. Bukan sekedar penolakan di forum rapat resmi, tapi sampai ada pemasangan spanduk-spanduk penolakan (aneh juga ada yang rela keluar biaya bikin spanduk) yang terpasang di kampung tersebut. Juga sempat ada gropyokan sekelompok warga (ada yang membawa parang) ke lokasi proyek yang sedang dilakukan pekerjaan pondasi.
Tentu saja saya tak mau terjadi masalah dan menghentikan aktivitas. Dan menghubungi pihak warga bahwa jika memang menolak, saya minta diberikan surat penolakan resmi. Konon rapat warga yang menghadiri pembahasan penolakan tersebut dihadiri 100 orang lebih.
Surat penolakan secara tertulis dikirimkan kepada kami. Tapi anehnya tidak ditanda-tangani oleh pengurus warga, melainkan oleh seseorang yang menuliskan status sebagai 'sesepuh warga'. Eh rupanya pengurus warga yang lama dipecat akibat keterlibatan di kasus sosialisasi proyek kostel ini. Hmm, seru. Kalau mau cerita detail bisa banyak paragraf. Tapi buat apa, tak memberi pelajaran buat anda.
Saya lebih fokus kepada upaya bagaimana menarik kembali uang muka yang sudah terlanjur dibayarkan kepada pemilik tanah. Saya bersyukur sudah memasukkan klausul emergency exit tersebut didalam PPJB.
Surat penolakan warga dan copy klausul PPJB yang menyebutkan tentang pengembalian uang saya serahkan kepada pemilik tanah. Saya beri waktu dia 3 bulan.
Seperti yang saya duga, uangnya sudah terpakai dan pemilik tanah tak mampu mengembalikan. Akhirnya saya menawarkan opsi bahwa saya dikompensasi dengan tanah yang luasannya setara dengan harga 1M. Dan saya maunya lahan yang paling depan dengan akses jalan raya langsung. Pemilik sempat menolak dan minta saya memilih lahan belakang. Saya bersikeras hanya mau bagian depan atau kembalikan saja uang saya 1M.
Tak ada pilihan, akhirnya pemilik bersedia menerima permintaan saya. PPJB lama yang mengikat seluruh luasan dibatalkan, dan ditukar seolah saya hanya membeli 'sebagian' saja tapi sudah membayar lunas.
Yes, aman. Investasi tidah hangus, tapi tetap tertukar aset. Ini jelas musibah, tapi levelnya minimal. Dalam bisnis, resiko terberat adalah proyeknya batal dan modalnya hilang. Di kasus ini memang gak jadi dapat untung, tapi modalnya masih bisa kembali. Sebenarnya secara value tetap untung. Karena harga rata-rata lahan disitu kisaran 4 jt/m2. Tapi saya ambil posisi paling depan yang nilainya mungkin bisa 5-6 jt/m2.
Sejak kasus penolakan warga tersebut, saat ini saya lebih menyukai hunting lahan diluar Sleman. Ada 4 proyek terakhir yang saya eksekusi, semuanya diluar Sleman, bahkan diluar DIY. Anyway, I'm still loving DIY. Dan saya sekarang selalu meminta pelaksanaan PPJB baru dilakukan setelah dilakukan sosialisasi warga terlebih dahulu. Jadi jika memang ada resistensi warga, kita bisa mundur sebelum uang tercebut.
Saya tak mau membahas tentang substansi penolakan, takut analisa saya subyektif dan kurang informasi. Lebih baik saya cerita saja tentang kasus yang saya alami sendiri di sebuah proyek saya di kabupaten Sleman yang juga mengalami kejadian yang sama.
Beberapa bulan yang lalu saya mengeksekusi sebuah proyek berlokasi bagus dekat jalan Godean, mau saya jadikan proyek kostel 3 lantai sejumlah 10 unit. Harga tanah kisaran 8M dan saya baru bayar DP 1M. Untungnya saya sudah punya kebiasaan melakukan manajemen resiko dengan menambahkan klausul EMERGENCY EXIT yang berkaitan dengan sosialisasi warga.
Kurang lebih bunyinya begini: Penjual harus membantu pembeli dalam melakukan proses sosialisasi warga. Jika warga menolak pembangunan proyek kostel, maka transaksi dianggap batal dan penjual harus mengembalikan uang muka kepada pembeli dalam waktu 3 bulan.
Nah, manajemen resiko dan klausul emergency exit itulah yang telah menyelamatkan saya dari resiko investasi.
Warga setempat ternyata menolak kehadiran proyek kostel kami. Bukan sekedar penolakan di forum rapat resmi, tapi sampai ada pemasangan spanduk-spanduk penolakan (aneh juga ada yang rela keluar biaya bikin spanduk) yang terpasang di kampung tersebut. Juga sempat ada gropyokan sekelompok warga (ada yang membawa parang) ke lokasi proyek yang sedang dilakukan pekerjaan pondasi.
Tentu saja saya tak mau terjadi masalah dan menghentikan aktivitas. Dan menghubungi pihak warga bahwa jika memang menolak, saya minta diberikan surat penolakan resmi. Konon rapat warga yang menghadiri pembahasan penolakan tersebut dihadiri 100 orang lebih.
Surat penolakan secara tertulis dikirimkan kepada kami. Tapi anehnya tidak ditanda-tangani oleh pengurus warga, melainkan oleh seseorang yang menuliskan status sebagai 'sesepuh warga'. Eh rupanya pengurus warga yang lama dipecat akibat keterlibatan di kasus sosialisasi proyek kostel ini. Hmm, seru. Kalau mau cerita detail bisa banyak paragraf. Tapi buat apa, tak memberi pelajaran buat anda.
Saya lebih fokus kepada upaya bagaimana menarik kembali uang muka yang sudah terlanjur dibayarkan kepada pemilik tanah. Saya bersyukur sudah memasukkan klausul emergency exit tersebut didalam PPJB.
Surat penolakan warga dan copy klausul PPJB yang menyebutkan tentang pengembalian uang saya serahkan kepada pemilik tanah. Saya beri waktu dia 3 bulan.
Seperti yang saya duga, uangnya sudah terpakai dan pemilik tanah tak mampu mengembalikan. Akhirnya saya menawarkan opsi bahwa saya dikompensasi dengan tanah yang luasannya setara dengan harga 1M. Dan saya maunya lahan yang paling depan dengan akses jalan raya langsung. Pemilik sempat menolak dan minta saya memilih lahan belakang. Saya bersikeras hanya mau bagian depan atau kembalikan saja uang saya 1M.
Tak ada pilihan, akhirnya pemilik bersedia menerima permintaan saya. PPJB lama yang mengikat seluruh luasan dibatalkan, dan ditukar seolah saya hanya membeli 'sebagian' saja tapi sudah membayar lunas.
Yes, aman. Investasi tidah hangus, tapi tetap tertukar aset. Ini jelas musibah, tapi levelnya minimal. Dalam bisnis, resiko terberat adalah proyeknya batal dan modalnya hilang. Di kasus ini memang gak jadi dapat untung, tapi modalnya masih bisa kembali. Sebenarnya secara value tetap untung. Karena harga rata-rata lahan disitu kisaran 4 jt/m2. Tapi saya ambil posisi paling depan yang nilainya mungkin bisa 5-6 jt/m2.
Sejak kasus penolakan warga tersebut, saat ini saya lebih menyukai hunting lahan diluar Sleman. Ada 4 proyek terakhir yang saya eksekusi, semuanya diluar Sleman, bahkan diluar DIY. Anyway, I'm still loving DIY. Dan saya sekarang selalu meminta pelaksanaan PPJB baru dilakukan setelah dilakukan sosialisasi warga terlebih dahulu. Jadi jika memang ada resistensi warga, kita bisa mundur sebelum uang tercebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.