DASAR BUPATI BOKEK !!
www.JinProperti.Info - Kalau ingat pengalaman ini benar-benar menggelikan
sekaligus bikin gemas. Ceritanya waktu itu saya dapat info dari sobat
properti yang ada di komunitas yang saya ikuti, bahwa ada koperasi PNS
di sebuah kabupaten memerlukan sekitar 450 unit rumah untuk anggotanya.
Mereka ingin menggandeng mitra pengembang guna merealisasikan program
tersebut.
Dapat informasi seperti ini, tentu saja langsung saya respon. Pembelian
kolektif seperti ini kalau beneran riil seperti dapat rejeki nomplok.
Karena tanpa perlu melakukan pemasaran ritel, sudah tersedia captive
market 450 orang. Tidak tanggung-tanggung, katanya saya langsung akan
dipertemukan dengan pak Bupati yang bertindak selaku pembina koperasi.
Selanjutnya saya diberikan jadwal bertemu pada hari H yang sudah
ditentukan.
Tepat di hari H, saya on the way menuju kantor Bupati yang dimaksudkan.
Arranger yang mengatur pertemuan itu terus melakukan kontak dengan
ajudan bupati. Rupanya meeting point bergeser, tak jadi dilakukan di
kantor Bupati, tapi jam 13 dijanjikan bertemu di sebuah Resto
Pemancingan di pinggiran kota. Saya diminta menuju kesana. Saya cuma
berangkat berdua dengan sopir.
Sesampai disana, rupanya pak Bupati sedang bersantap siang dengan
rombongannya, lengkap dengan mobil patroli polisi pengawalnya. Saya
diundang masuk ke sebuah saung, dimana disitu ada pak Bupati dan 2 orang
yang saya tidak tahu apa jabatannya. Salah satunya sepertinya pengurus
Koperasi.
Kami melakukan dialog dan negoisasi selama lebih kurang 30 menit, dan
hasilnya tidak ada kesepakatan yang terjadi diantara kami. Terjadi
deadlock karena syarat-syarat yang saya ajukan tak bisa dipenuhi pak
Bupati. Dan sepertinya pak Bupati juga buru-buru pergi karena ada agenda
lainnya.
Satu pesan terakhir pak Bupati saat bersalaman dengan saya dan berpisah
masih saya ingat sampai sekarang; "Pak pengusaha, tolong bonnya dibantu
diselesaikan ya ...? Makasih sebelumnya." Dan pak Bupati serta
rombongannya berlalu. Huh, dasar Bupati bokek.
Jumlah tagihan makan siang yang harus saya bayar kalau tak salah ingat
totalnya Rp 2.800.000,-. Celakanya disitu tidak melayani kartu kredit
dan debit, mesti bayar tunai. Padahal uang tunai di dompet saya cuma 900
ribuan saja. Terpaksa sopir saya ditinggal sebagai sandera di
pemancingan dan saya pergi nyetir sendiri mencari ATM mengambil uang
tunai.
Sobat properti, kenapa tidak terjadi deal antara saya dan pak Bupati
soal rencana pengadaan perumahan PNS? Karena menurut saya, peluang itu
sifatnya masih 'abu-abu'. Pak Bupati mengatakan ada 900 pegawai
kabupaten yang belum punya rumah, jadi dianggap 50% nya berniat membeli
rumah. Akan tetapi pak bupati tidak bisa memaksa mereka untuk membeli
rumah di proyek yang akan kami kembangkan, sekalipun kami bermitra
dengan koperasi Pegawai Pemda.
Pak Bupati hanya meminta saya membebaskan lahan barang 5-6 ha, nanti
dibantu perijinannya. Meski statement 'dibantu' ini bisa jadi hanya
percepatannya saja. Kalau biaya mana mungkin free? Selanjutnya kami
diberi akses untuk melakukan promosi dan publikasi di internal pegawai
kabupaten. Jika harganya murah dan lokasi bagus, niscaya mereka akan
membeli.
Yeah, kalau cuma begini sih gak usah diajari pak Bupati. Dimana-mana
kalau produk properti kita berlokasi bagus dan harga murah juga pasti
diserbu konsumen. Jadi dimana letak sebuah opportunity yang bernama
PEMBELIAN KOLEKTIF itu? Tidak ada.
Sobat properti, saya mau sharing poin-poin apa yang saya perjuangkan dengan pak Bupati, yang akhirnya gagal deal tersebut.
1. Pengembang dan Pengurus koperasi menanda-tangani perjanjian tripartit
dengan pihak perbankan yang ditunjuk, guna membuka sebuah escrow
account.
2. Pengembang akan mengeluarkan daftar harga jual konsumen untuk T-36/72
dan T-45/90 dimana harga berlaku fix, akan tetapi nomer kavling akan
dipilih menyusul berdasarkan siteplan yang akan diterbitkan.
3. Pengembang dan pengurus koperasi akan menetapkan beberapa opsi
pemilihan lokasi lahan, dengan syarat bahwa jarak maksimal adalah radius
10 km dari kantor Pemkab.
4. Pihak koperasi wajib memfasilitasi Pengembang dalam melakukan
sosialisasi dan promosi penjualan program rumah PNS dari kantor ke
kantor yang berada di lingkungan Pemkab.
5. Setiap PNS yang berminat membeli rumah wajib menyetorkan uang tanda
jadi minimal 2.000.000 yang dimasukkan ke rekening escrow account,
dimana berdasarkan perjanjian tripartit disebutkan bahwa uang tersebut
baru bisa dipindah-bukukan ke rekening Pengembang apabila pihak
Pengembang sudah membuktikan telah memiliki lahan perumahan lengkap
dengan perijinannya. Selama Pengembang belum mampu membuktikan hal
tersebut, maka uang tanda jadi tetap tersimpan di escrow account.
6. Pengembang wajib menyetorkan trust fund ke escrow account senilai
200.000 x jumlah konsumen yang membayar uang tanda jadi (misal; yang
membayar uang tanda jadi 300 orang, maka trust fund yang disetor 200.000
x 300 = 60.000.000). Trust fund ini akan hangus apabila dalam waktu 9
bulan sejak perjanjian tripartit ternyata Pengembang belum memiliki
lahan dan/atau belum memperoleh perijinan.
7. Pengembang diberi waktu selama maksimal 9 bulan sejak perjanjian
tripartit, untuk membebaskan lahan dan mengurus perijinan. Apabila gagal
melakukan kewajiban tersebut, maka trust fund yang sudah disetorkan ke
escrow account dianggap hangus sebagai sanksi wanprestasi. Masing-masing
konsumen akan dikembalikan uangnya senilai 2.000.000 ditambah 200.000.
8. Pemkab berjanji membantu proses penerbitan perijinan, dimana
pengurusan perijinan sejak Ijin Lokasi s/d IMB harus terbit dalam waktu
maksimal 3 bulan. Apabila proses perijinan memakan waktu lebih dari 3
bulan, maka secara otomatis kelebihan waktu mengurus perijinan dianggap
sebagai toleransi kemunduran waktu pihak pengembang juga yang semula
ditetapkan 9 bulan saja.
9. Apabila Pengembang sudah berhasil membebaskan lahan dan terbit
perijinan, maka berdasarkan perjanjian tripartit semua uang tanda jadi
konsumen bisa dipindah-bukukan ke rekening Pengembang. Konsumen tidak
bisa membatalkan transaksinya, melainkan harus melanjutkan dengan
membayar uang muka. Jika kondisinya memaksa konsumen batal, maka uang
tanda jadi 2.000.000 tetap menjadi hak Pengembang sebagai sanksi
pembatalan.
----------
Sobat properti, dari sekian poin yang saya usulkan kepada pak Bupati,
beliau menolak poin 5 yang katanya memberatkan pihak konsumen. Berat
apanya ya? Kalau memang punya niat beli rumah ya memang mesti sudah
menyediakan uang muka dalam jumlah cukup. Kalau sekedar membayar uang
tanda jadi saja tidak mampu dan dianggap berat, bagaimana nanti saat
diminta membayar uang muka?
Rupanya pak Bupati ketakutan kalau uang tanda jadi milik konsumen yang
sudah dibayarkan akan dibawa kabur oleh pengembang, padahal proyeknya
tidak jadi direalisasi. (Kayaknya pak Bupati pernah baca kasus
pengembang fiktif).
Saya jelaskan lagi kepada pak Bupati bahwa uang konsumen masih tersimpan
aman di escrow account. Dan kami sebagai pengembang belum bisa
menyentuh uang tersebut sebelum kami memiliki lahan dan perijinan. Tak
mungkin uang konsumen kami bawa kabur.
Apalagi ada trust fund dari kami senilai 200.000 dikalikan tiap konsumen
yang membayar uang tanda jadi. Anggap saja itu sebagai 'bunga' jika
kami wanprestasi. Bunyi klausul perjanjian tripartit memang begitu.
Konsumen menaruh uang 2.000.000 di escrow account dan dalam waktu 9
bulan kembali 2.200.000 jika kami wanprestasi. Bunga 10% selama 9 bulan
lumayan deh, masih diatas bunga deposito.
Jadi semua pihak sama-sama aman. Yaitu konsumen tak perlu kuatir
Pengembangnya kabur, karena kalau Pengembang kabur uangnya konsumen
tetap kembali malah dapat tambahan bunga 10%. Dan bagi kami sebagai
Pengembang, juga tak ada kekuatiran bahwa jika kami sudah membebaskan
lahan, jangan-jangan nanti konsumennya kabur alias tak ada yang mau
beli. Kami pasti repot jika harus menjual secara ritel.
Pelajaran yang dipetik dari kasus diatas ada 2, yaitu;
1. Jika terjadi sebuah ketidak-pastian, maka buatlah agar
ketidak-pastian itu berpihak kepada anda. Aplikasinya ada di poin 5
dimana kami meminta konsumen yang 'mengaku' berminat membeli rumah harus
membayar uang tanda jadi 2.000.000. Jika ternyata tak ada yang membeli,
proyek kita batalkan. Jika yang membeli hanya 200 orang, kita beli
luasan lahan menyesuaikan. Aplikasi soal ketidak-pastian harus berpihak
kepada kita juga muncul di poin ke 9, dimana kalau sampai terjadi kita
sudah terlanjur membebaskan lahan, ternyata konsumennya batal membeli,
di klausul perjanjian disebutkan bahwa uang konsumen hangus menjadi
milik kita.
2. Tak semua prospek lahan harus jadi dan harus dieksekusi. Banyak
prospek dan peluang berseliweran didepan kita, tapi jika memang tidak
bagus atau tidak aman buat kita, ya jangan memaksakan diri untuk
dieksekusi. Begitu pak Bupati menolak poin 5, saya memilih 'no deal'
ketimbang berjudi membeli lahan duluan dan ternyata tak ada yang
membeli. Karena sejak awal saya menganggap peluang yang ada berupa
PEMBELIAN KOLEKTIF, bukan ritel. Jangan memaksakan diri mengeksekusi
peluang yang tidak bagus. Masih banyak koq bunga lain diluaran sana yang
lebih harum dan menunggu kita petik.
Makanya, ayo hunting .... !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.