TRAGEDI JUS JAMBU
ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Siang itu udara terik. Saya mampir ke sebuah warung makan untuk makan siang. Ruangannya cukup luas, ada belasan kursi. Tapi karena saya datang sudah kisaran jam 14 lebih, cuma 2 meja yang terisi. Saya sendiri. Di meja sana ada sepasang kekasih. Saya memesan jus jambu dan nasi timbel.
Sambil menunggu pesanan, saya asyik membuka data peserta Workshop CARA PINTER JADI DEVELOPER tanggal 7-8 Januari 2012 mendatang di Hotel Oasis Amir Senen Jakarta yang sudah mencapai 17 peserta. Saat itulah datang pelayan warung mengantarkan segelas minuman berwarna merah ke meja saya. Dasar haus langsung saya sruput. Segerrrrr dinginnya.
Tapiiiiiii ..., ada yang aneh. Ini rasanya bukan jus jambu, tapi strawberry. Sama-sama warna merah, tapi itu jelas 2 spesifikasi minuman yang berbeda. Saya segera memanggil pelayan untuk komplain, dan pelayannya minta maaf karena menyuguhkan menu minuman yang tertukar.
Aneh ya? Pengunjungnya cuma 3 orang dalam 2 meja, tapi bisa tertukar minumannya. Apakah mereka tak punya manajemen menu pesanan? Misalkan dengan cara 1 slip order 1 pelayanan. Atau dengan cara apalah saya kurang paham soal manajemen beginian. Tapi logikanya, jika baru 2 meja saja menunya bisa tertukar, bagaimana jika ada puluhan tamu dan belasan meja terisi? Bisa ketukar-tukar menunya. Satu komentar dari saya; Payah !!
* * *
Sobat properti, dalam kasus jus jambu diatas saya bisa menempel label 'payah' ke manajemen warung makan. Tapi saat ingat kejadian konyol di proyek yang saya kelola sendiri beberapa tahun lalu, sebenarnya saya juga pernah masuk kategori payah.
Pernah terjadi ada konsumen yang membeli sebuah rumah T-54 dengan cara pembayaran tunai bertahap 6 bulan, mencak-mencak di bulan ke 6 saat akan melakukan pelunasan, karena ternyata progres fisik bangunannya masih 0%. Sebelumnya konsumen memang tidak pernah mensurvei ke lapangan sama sekali. Konsumen marah besar, kami semua dikatakan payah.
Usut punya usut, divisi teknik sebenarnya sudah membuka SPK (surat perintah kerja) untuk membangun unit T-54 di blok B-11, padahal unit yang dibayar bertahap 6 bulan tersebut terletak di blok D-11. Ada mis-informasi yang terjadi saat divisi pemasaran mentransfer informasi unit terjual kepada divisi teknik. Kenapa? Karena penyampaian informasi disampaikan secara lisan melalui rapat koordinasi, tidak ada format dokumen tertulis yang menjadi dokumen pendukung.
Karena secara lisan, maka huruf D didengar sebagai B, dan terjadilah musibah tersebut. Siapa yang salah? Apakah yang melafalkan huruf D secara tidak jelas? Atau yang telinganya error sehingga mendengar huruf D dimaknai sebagai huruf B.
Akhir dari kasus salah bangun itu sangat pelik. Si pembeli ogah dibujuk pindah ke unit B-11, dan ngotot memilih kavling D-11. Karena sudah pasti telat penyerahan bangunannya, maka kemudian kami kena denda yang dikonversi dengan pembebasan biaya BPHTB dan pembuatan taman di halaman depan.
Belajar dari kasus tersebut, saya melakukan improvement dengan membuat sebuah form yang disebut Form SOM (Surat Order Membangun). Ini semacam komunikasi tertulis yang disampaikan oleh divisi pemasaran ke divisi teknik agar segera memulai pembangunan untuk sebuah unit rumah yang sudah terjual. Apa syarat-syarat terbitnya SOM juga saya atur. Misal; untuk pembelian tunai sudah harus terbayar 50%, untuk pembelian KPR sudah harus terbayar DP 10% dan terbit Surat Persetujuan Kredit dari bank, dll. SOM juga diaplikasikan dengan melibatkan GM dalam fungsi check and control supaya meminimalisasi terjadinya salah bangun.
Sudahkah anda menyiapkan berbagai sistem operasional prosedur yang rapi di ranah administrasi operasional proyek anda? Jangan sampai menunggu dikatakan payah baru mau berbenah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.