BETULKAH MERINTIS BISNIS PROPERTI SEBAGAI PENGEMBANG BENAR-BENAR GAMPANG??? Silahkan simak jawabannya disini : http://bukupengembangproperti.blogspot.com/2012/03/merintis-bisnis-properti-sebagai.html

Cari Artikel Menarik Disini

Minggu, 01 Januari 2012

TEORI NASI GORENG PETE



TEORI NASI GORENG PETE

ARIWIBOWOJINPROPERTI.BLOGSPOT.COM - Tadi malam saya diajak kuliner oleh teman lama yang berbobot 120 kg. Kami memilih warung nasi goreng di dekat alun-alun kabupaten Semarang. Saya pesan 1 porsi nasi goreng babat, dan dia pesan 1 porsi nasi goreng ayam pete. Ada request khusus; petenya digoreng sampai kering sekali.

Nasi goreng ayam pete pesanan teman saya dimasak duluan. Gila coy, buah pete 1 strip dirontokin semua dimasukkan ke penggorengan. Kurang lebih berisi 20 biji pete. Usai dimasak, dihidangkan ke meja kami, dan penjual nasi goreng bersiap membuat nasgorbat pesanan saya.Eh, teman saya yang berbobot 120 kg mendadak ngomel-ngomel; “Bang, bukannya sudah saya bilang, petenya digoreng sampai kering. Ini kok dalamnya masih ada yang hijau. Tolong digoreng lagi deh!” Kemudian pete-pete yang katanya belum digoreng kering itu dikumpulin dalam satu piring kecil lalu diserahkan ke penjual nasgor untuk digoreng lagi.

Permintaannya dipenuhi setelah nasgorbat pesanan saya selesai dimasak. Petenya dimasukkan wajan dan digoreng lagi sampai kering, baru dihidangkan kembali ke teman saya. “Nah, ini baru pete enak, kemlethus rasanya ….”, kata mister 120 kg sambil melahap nasi goreng pete kesukaannya.

* * *

Sobat properti, menurut anda apakah dengan adanya kejadian pete digoreng sampai 2x itu membuat harga 1 piring nasi goreng petenya berubah harga atau naik harga? Saya yakin tidak. Padahal menggoreng 2x berarti keluar tenaga 2x, menghabiskan bahan bakar 2x. Harganya tidak bertambah. Tetap dihitung berdasarkan harga sepiring nasi goreng dan buah pete 1 strip.

Apakah itu aplikasi teori kepuasan pelanggan ala penjual nasi goreng? Kalau bisa memenuhi request pembeli tak akan ada penambahan harga apapun. Paling banter ucapan terima kasih. Tapi saat request pembeli tidak terpenuhi, sudah kena omelan, masih harus bekerja 2x. Keluar keringat tanpa kompensasi apapun.

Apa hubungan kisah mister 120 kg diatas dengan pelajaran properti yang akan saya bagikan dalam artikel ini?
Di sebuah proyek yang saya kelola, salah satu pembeli merasa bahwa kualitas keramik sesuai spesifikasi standar belumlah memuaskan selera dia, sehingga dia ingin lakukan upgrade dengan keramik yang lebih bagus dan lebih mahal. Pembeli menyampaikan permintaan secara lisan kepada staf pemasaran, yang berjanji akan meneruskannya kepada divisi teknik.

Apa yang terjadi 2 bulan berikutnya? Pembeli ngomel-ngomel karena saat menengok ke lapangan, keramik kualitas standar sudah terlanjur dipasang di separoh lebih luasan lantai. Padahal dia sudah request akan diganti keramik yang lebih bagus yang akan dibelikannya sendiri.

Demi memberikan servis kepada pembeli karena memang ini kesalahan kami, terpaksa keramik yang sudah terpasang dibongkar dan diganti dengan keramik yang didropping oleh pembeli. Untuk pekerjaan membongkar ini kami harus keluar biaya ekstra atas beban kami sendiri, bukan ditagihkan ke pembeli.
Kasus ini persis kejadiannya dengan kisah pete goreng yang digoreng 2x demi memenuhi request pembeli. Jika dilakukan dengan baik tak dapat apa-apa selain rasa senang bisa menjelankan prinsip kepuasan pelanggan. Tapi jika lalai menjalankan request, beban biaya tambahan yang muncul harus kita pikul. Tidak balance menurut saya.

Sejak kejadian itu saya melakukan perubahan kebijakan. Konsep dasarnya adalah; jika kita keluar keringat mestinya harus dapat kompensasi. Bukan masalah tak mau menservis konsumen, tapi mencari keseimbangan atas resiko yang mungkin timbul. Timbulah apa yang disebut Form Perubahan Desain atau Perubahan Spesifikasi Bangunan. Ini permintaan resmi dari pembeli untuk merubah desain atau merubah spec bangunan. Kami melayani secara resmi tapi meminta Biaya Koordinasi dan Pengawasan sebesar 30% dari nilai perubahan. Bukan melakukannya secara cuma-cuma.

Kami hanya membatasi untuk perubahan minor saja, bukan perombakan ekstrem dan total dengan pertimbangan jika sampai transaksi batal, maka unit yang sudah dirombak tetap mudah dijual ke pembeli baru karena bentuknya masih mendekati standar, bukan hasil customize. Misal; menggeser pintu kamar mandi, mengubah kloset jongkok menjadi kloset duduk, upgrade keramik lantai, upgrade kusen dll.

Apakah anda memilih menjalankan Teori Nasi Goreng Pete ini atau menjadikan servis perubahan desain dan perubahan spec bangunan itu justru sebagai benefit yang bisa dinikmati konsumen? Itu adalah hak anda. Tak ada yang benar dan salah disini. Tapi jika tanpa servis itu ternyata produk anda sudah memiliki banyak benefit yang menarik, saya menyarankan lebih baik anda mengaplikasikan teori nasi goreng pete dengan meminta biaya koordinasi dan pengawasan. Bukan semata-mata mencari income tambahan, tetapi menjadikannya semacam premi apabila terjadi resiko munculnya biaya tak terduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

ShareThis